(Oleh: Achmad Fanani Rosyidi, Aktivis Setara Institute)
Eksekusi tahap kedua terpidana mati kasus narkoba dimungkinkan pada februari. Keputusan ini mengacu pada hasil evaluasi ekseskusi tahap pertama yang tengah dibahas dan direncanakan selesai akhir bulan ini (KOMPAS, Rabu 28 Januari 2015)
Ditengah negara-negara yang lainnya sedang trend menghapus hukuman mati karena dianggap tidak berprikemanusiaan. Presiden Jokowi justru bersikeras memberlakukan hukuman mati. Pada Minggu, 18 Januari 2015 Kejaksaan telah melaksanakan eksekusi terhadap enam Yakni Marco Archer (53), Namaona Denis (49), Daniel Enemuo (38), Ang Kiem Soei (62), Rani Andriani (38), Tran Thi Bich Hanh (37)terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan dan Boyolali, Jawa Tengah. Menurut Jaksa Agung M Prasetyo, ratusan terpidana mati lainnya akan dieksekusi selekasnya. Kemudian, Kejaksaan agung telah mengantongi tujuh nama WA dan satu WNI yang akan di eksekusi recana pada bulan depan. Diantara daftar itu, dua terpidana mati atas nama Myuran Sukumaran dan Andrew Chan adalah gembong narkoba kelompok Bali Nine
Menurut penulis pemberlakuan hukuman mati adalah kebijakan yang melenceng dari program Nawa Cita Jokowi dan amanah UUD 45 pasal 28 A yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Bahwa hak untuk hidup dalam HAM adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat (non derogable rights). Jokowi sebagai Kepala negara dan pemerintahan harusnya tunduk pada konstitusi dan visi misinya.
Dalih hukuman mati Jokowi untuk memberikan efek jera bagi pelaku pengedar narkoba sesungguhnya tak berdasar. Seharusnya Presiden Jokowi membenahi aparat penegak hukum yang kotor, korup, dan tidak disiplin. Pasalnya, lembaga penegak hukum seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian, dan Kejaksaan Agung pun masih jauh akan harapan dalam menegakkan hukum, khususnya penegakkan HAM. Kejaksaan Agung, misalnya, bukan ‘rahasia umum’ lagi bahwa lembaga tersebut yang kita anggap berwibawa ternyata merupakan ‘kuburan atas kasus-kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi’, begitu juga BNN dan Kepolisian. Apalagi kita tahu bahwa hari ini institusi penegakkan hukum kita (KPK dan POLRI) ternyata sedang tersandera Oligarkhi politik. Jika memang Jokowi ingin menyelamatkan generasi muda dari narkoba, ya benahi dulu aparat penegak hukumnya.
Tak hanya itu, sebaiknya Presiden Jokowi harus sudah mulai berbenah menguatkan stabilitas politik akibat dari perselisihan KPK-POLRI. Jangan sebaliknya, bicara rencana untuk meneruskan kebijakan hukuman mati yang nanti justru jadi sebuah kebijakan yang tidak diterima oleh masyarakat.
Pemberlakuan hukuman mati, sendiri, mencoreng integritas Indonesia dimata dunia sebagai negara demokratis dan menghormati HAM. Sebaliknya pemerintah Indonesia seharusnya memberikan contoh yang baik dengan menghapus hukuman mati.
Untuk itu penulis sendiri mengecam keras pemberlakuan hukuman mati atas enam orang tersebut dan segera menghentikan rencana eksekusi hukuman mati Kejaksaan Agung pada bulan depan. Karena Hukuman Mati merupakan langkah mundur bagi penegakkan HAM di Indonesia. Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum harusnya menegakkan HAM bukan malah sebaliknya.