KPK-POLRI: Penegakan Hukum dan HAM ditengah Sandera Politik

oleh
oleh

save kpk dan polri(Oleh: Achmad Fanani Rosyidi, Aktivis Setara Institute)

Saat ini terjadi sebuah drama saling sandera antar institusi penegak hukum ditengah naungan kepentingan oligarkhi politik. Ya, bermula dari pengangatan Budi Gunawan sebagai Kapolri (BG) yang tidak mengikut sertakan KPK dan PPATK, pencopotan Kapolri Sutarman yang membingungkan, mutasi Suhardi, kecaman etika Abraham Samad, kriminalisasi Bambang Widjajanto (BW) hingga Adnan Pandu Praja. Layaknya berbalas pantun sangat menarik untuk disimak. Berbalas saling menyandera berbumbu politik itu yang terjadi.

Drama ini menyita jutaan perhatian rakyat indonesia. Cuitan dunia maya juga turut memanaskan kampanye pro dan kontra. Statement Tejdo misalnya yang mengatakan “Pendukung KPK adalah rakyat yang tidak jelas” menjadi dagelan aksi saling sindir dengan membuat kampanye ‘Tidak Jelas = Tejdo” di perang Twitter #RakyatTidakJelas, berujung pada ditegurnya Menteri Politik Hukum dan HAM oleh Presiden Jokowi dan dilaporkannya ke kabareskrim oleh aktivis.

Fenomena ini merupakan sebuah realitas politik dan hukum ditengah negara demokrasi. Ada beberapa orang yang menyatakan demokrasi ini kebablasan dan harus segera dihentikan ada pula yang menyatakan bahwa ini adalah proses pendewasaan dalam berdemokrasi dan harus tetap dipertahankan. Namun, yang terpenting adalah kebebasan dalam negara demokrasi harus tunduk pada konstitusi, apalgi negera kita adalah negara hukum.

Maka dalam menyikapi konflik KPK-Polri tentunya harus mengedepankan motif murni penegakkan hukum dan terhindar dari tendensi politik. Klaim penegakkan hukum yang sejatinya bertendensi politis harus segera dihentikan. KPK tanpa BW harus tetap menindak BG. BG yang sebagai tersangka pula harus sadar diri secara etika bahwa dirinya sudah tersangka dan harus sudah mengundurkan diri. Namun apa mau dikata, negara kita ini masih terlalu berwatak oligarkis. Kepentingan partai politik menjadi mahkota pengambilan keputusan. Sistem presidensial dipertanyakan keabdasahannya ditengah kekuatan wewenang parlementer.

Kuatnya politik oligarki akhirnya menghancurkan upaya institusi penegakkan hukum untuk bersikap tegas dan independen. Oleh karena dibutuhkan ketegasan Presiden Jokowi untuk memutuskan langkah poltik yang tunduk kepada konstitusi bukan kepada partai politik. Kemudian saatnya partai politik lebih bersikap dewasa dalam berpolitik untuk memajukan masa depan bangsa. Sikap negarawan para politisi dalam konteks ini sangat dibutuhkan.

Menurut hemat penulis, pertama, Presiden Jokowi sudah harus bersikap untuk membatalkan pelantikan BG. Yang artinya berpaling sudah pada kepentingan kelompok politik tertentu dan berpindah kepada kepentingan negara. Kedua, Presiden segera perkuat wewenang KPK dengan mempertimbangkan hak imunitas kepada para pimpinan KPK. Ketiga, evaluasi kinerja Kepolisian dengan segerakan agenda reformasi institusi yang berspektif HAM.

 

Bendungan Hilir, Rabu 28 Januari 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.