Natal dan Martabat Manusia

oleh
oleh

Jakarta – Selepas dua tahun bergelut dengan pandemi, Natal tahun ini akhirnya bisa dirayakan secara normal seperti biasanya. Aktivitas masyarakat dan mobilitas sosial perlahan menuju rutinitas tanpa ada pembatasan seperti ketika pandemi masih melanda. Kerinduan dua tahun umat Kristiani untuk merayakan Natal tanpa ada aturan pembatasan akhirnya hadir.

Tahun berganti, waktu terus berjalan, esensi Natal setiap tahun selalu kontekstual dengan perjalanan waktu dan kemajuan zaman. Natal ialah peristiwa Allah menjelma menjadi manusia. Ia rela meninggalkan kebesaran-Nya demi menyelamatkan kerapuhan diri manusia. Natal adalah simbol solidaritas sosial antar sesama.

Itulah yang kita saksikan bagaimana gerakan solidaritas anak bangsa demi membantu para korban bencana alam yang terjadi di Cianjur menjelang pengujung tahun ini. Gerakan-gerakan sosial itu tumbuh dengan sangat mengesankan. Beragam gerakan dari beragam komunitas dan dari beragam latar belakang pula.

Melalui peristiwa Natal, inspirasi iman kristiani bersumber dari keterlibatan Allah dalam sejarah dan peristiwa hidup manusia yang bertujuan untuk mengangkat martabat manusia sekaligus memberi harapan.

Seperti kata-kata ini: “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang yang besar.” Sinar kebesaran ini terpancar dan dinubuatkan Nabi Yesaya beberapa abad sebelum Yesus lahir. Kisah sebagai nubuat dari inspirasi iman bagi bangsa Israel yang berada di tengah prahara ketakutan dan penjajahan.

Dalam konteks itu, kelahiran Yesus justru dianggap sebagai ancaman bagi para penguasa zaman itu. Menurut Jon Sobrino (2008), provokasi kelahiran Yesus tidak bersifat kategorial, tapi total. Karena bertumbuh dari sebuah sinar pengharapan.

Otto Gusti Maddung secara lugas merefleksikan bahwa kehadiran Yesus adalah seorang figur kontroversial, bahkan provokatif. Karena mengganggu kemapanan para penguasa. Bahkan terhadap para pemuka agama yang berkolusi dengan para pengusaha hitam serta politisi korup berlagak santun dan saleh pada masanya.

Hari-hari ini, Indonesia sedang mengalami hal yang sama. Seiring dengan itu, makna Natal menjadi sangat signifikan dan relevan. Seperti pesan Natal yang ditegaskan oleh PGI dan KWI, bertajuk, “…pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.”

Natal merupakan momentum ajakan untuk berjalan bersama agar “pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat” akibat pandemi Covid-19. Kita harus kolaborasi untuk berjalan bersama membangun peradaban kasih ketika menguatnya kekerasan dan gangguan sosial lainnya, merajut kerukunan saat merebaknya sikap intoleransi, menumbuhkan kesederhanaan di tengah menjalarnya perilaku korupsi, menggemakan pertobatan ekologis di saat semakin maraknya kerusakan lingkungan hidup, menggalang persatuan dan kesatuan serta mengembangkan hidup berpolitik yang beretika jelang tahun politik dan pesta demokrasi 2024.

Melalui peristiwa Natal, Tuhan menjelma menjadi manusia, mengangkat dan memuliakan martabat manusia. Melalui kehadiran putra-Nya, Tuhan menampak diri menjadi terang untuk menuntun perjalanan iman manusia.

Semoga perayaan Natal 2022 ini mampu melampaui kesalehan privat-ritual menjadi spiritualitas keterlibatan untuk merekatkan persahabatan, menghargai martabat sesama anak bangsa demi menghadapi tahun politik 2023 hingga jelang Pemilu 2024.

Jefri Gultom
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, mahasiswa S2 UI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.