Oleh: Brigjen Pol. Dr. Bambang Usadi, MM
Isu panas seputar kriminalisasi kembali menghangat ketika terjadi turbulensi dua peristiwa penting yang terjadi hampir bersamaan, yaitu menyangkut penegakan etika terhadap Hakim Sarpin oleh KY dan penegakan hukum bersangkutan dengan pengaduan pencemaran nama baik Hakim Sarpin oleh dua orang yang kebetulan menjabat sebagai Ketua dan Komisioner KY.
Masyarakat dan tokoh masyarakat kembali terbawa euforia dalam berpendapat menyangkut persoalan tersebut dengan hanya mendasarkan pada praduga yang cenderung sudah berpihak dan memasang stereotif negatif terhadap Polri. Meski, tidak sedikit yang menghendaki proses hukum tetap berjalan agar jelas terbukti ada tidaknya unsur pidana dalam kasus pencemaran nama baik tersebut.
Seorang tokoh pemuda Muhammadiyah yang menyatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan Bareskrim hanya bermain di ranah peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan aspek rasa keadilan sebagai semangat penegakan hukum itu sendiri. Tetapi pernyataan seperti ini apakah dapat diterima dan dibenarkan?
Kita semua tahu Undang-Undang dibuat dan disusun untuk memastikan hak dan kewajiban warga negara dilindungi hukum secara pasti. Ketika berbicara semangat menghadirkan rasa keadilan dalam penegakan hukum, maka aspek substansial yang tidak boleh ditinggalkan adalah adakah hak-hak yang dilanggar oleh suatu pihak dalam suatu delik pidana yang harus dipulihkan melalui penegakan hukum?
Kasus kontroversi penegakan hukum pencemaran nama baik Hakim Sarpin oleh dua orang yang kebetulan adalah seorang Ketua KY dan Komisioner KY harus dikupas dulu apakah ada unsur pidana di sana yang mengakibatkan hak orang lain yang dilindungi Undang-Undang terampas karena perilaku terlapor?
Harus dicatat, nama baik seseorang adalah hak yang secara nyata dilindungi KUHP, ketentuan KUHP ini tentu sudah mempertimbangkan segala aspek termasuk dalam ranah kewenangan KY yang memiliki hak menilai putusan seorang Hakim. Jadi tinggal dinilai apakah penilaian dua orang yang kebetulan menjabat sebagai ketua KY dan Komisioner KY tersebut melampaui kewenangannya ataukah masih dalam batas kewenangannya.
Pernyataan dua orang terlapor yang kebetulan menjabat sebagai ketua KY dan Komisioner KY yang sempat menyatakan di media berulangkali bahwa “hakim Sarpin bodoh dan akan dipecat” bukankah sudah sangat tendensius menyerang pribadi hakim?
Ini bukan lagi sebatas menilai putusan hakim yang menjadi kewenangan KY? Apalagi skorsing terhadap hakim Sarpin dengan salah satu alasan yang sulit diterima dengan menyatakan hakim Sarpin secara tidak cermat dan gegabah mengambil pandangan seorang saksi ahli, dalam hal ini adalah Prof. Arief Sidarta sudah berlebihan, karena tidak mengambil pendapat, mengambil sebagian saja pendapat atau bahkan mengambil pendapat secara keseluruhan dari seorang ahli sudah biasa dalam ruang akademis dan hasil konstruksi pandangan akhirnya dapat sama sekali berbeda dengan pandangan keseluruhan seorang ahli yang dirujuk.
Dalam ruang akademis, penemuan ilmiah misalnya Teori atom Rutherford sangat berbeda dengan teori atom John Dalton, meskipun lahirnya teori atom Rutherford diinspirasi pandangan dalam postulat atom John Dalton. Hal ini karena biasanya konstruksi pandangan yang merujuk berbagai pandangan, termasuk fakta empiris (alat bukti dan barang bukti), dapat berpotensi menggiring pada penemuan kebenaran baru yang lebih bersifat komprehensif dan jauh lebih reliabel (konsisten).
Demikian juga dengan cara Hakim Sarpin dalam mengelola setiap keterangan, termasuk keterangan ahli, alat bukti dan barang bukti, termasuk mengambil sebagian pendapat Prof. Arief Sidarta, tentu saja metode Hakim Sarpin yang kewenangannya tersebut dijamin pasal 5 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam hal ini, bahkan putusan hakim Sarpin tervalidasi oleh putusan MK yang menyatakan penetapan tersangka dapat dipraperadilankan.
Apabila faktanya demikian, maka dapat diduga pelaporan Hakim Sarpin menyangkut delik pencemaran nama baik menemukan justifikasinya dalam KUHP dan dapat diproses hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-Undang ini.
Tuduhan terhadap upaya kriminalisasi seyogyanya divalidasi dengan ada atau tidak adanya unsur pidana yang terpenuhi. Justru apabila hakim Sarpin tidak diberikan ruang untuk membuat aduan pencemaran nama baiknya, rasa keadilan yang sesungguhnya telah tercederai karena faktanya kasus ini telah mengindikasikan kuatnya penyerangan pribadi, bukan putusan hakim an sich.
Media, penggiat, akademisi dan pengamat hukum bahkan pemerintah termasuk Presiden harus proporsional dan adil dalam melihat permasalahan penetapan tersangka Ketua dan Komisioner KY tersebut. Tidak akan ada pengaduan delik/pidana pencemaran nama baik apabila pihak yang merasa dirugikan nama baiknya tidak merasa diserang secara pribadi, bukan hanya persoalan penilaian terhadap putusan hakim an sich.
Maka upaya-upaya sesat yang berlebihan dan melampaui batas dengan melangkahi kewenangan proses penegakan hukum seharusnya segera dihentikan, dan satu-satunya jalan adalah dengan keputusan melanjutkan perkara pencemaran nama baik tersebut selesai sampai putusan peradilan yang final untuk memastikan proses hukum tetap ditegakkan dan sistem hukum tetap berwibawa.
Bagaimanapun masyarakat termasuk media, penggiat dan pengamat hukum tidak mengetahui dan memahami keseluruhan konstruksi dan anatomi kasus pidana yang menjerat tersangka, sehingga sudah seharusnya menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berwenang.
* Penulis adalah Analis Kebijakan Utama Lemdikpol