Berharap Masa Depan KPK Pada Jenderal Polisi dan Jaksa Senior

oleh
oleh
Capim KPK dari Kepolisian Syahrul Mama (Beritaasatu.com)
Capim KPK dari Kepolisian Syahrul Mama (Beritaasatu.com)

Oleh: Imam M Sumarsono

Ini bukan utopia. Bagi saya, ini sudah urgent. Kecuali, jika ini masih dianggap sebagai urusan populer dan tidak populer, maka bisa diprediksi bahwa di tahun-tahun ke depan, akan terjadi kekacauan hukum yang bisa menimbulkan implikasi sosial-politik yang lebih buruk.

Apa itu?

Tentang masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebuah lembaga ad hoc, yang selama hampir 10 tahun telah menyedot perhatian publik. Menarik konsentrasi dan energi semua elemen masyarakat untuk selalu mengikuti sepak terjangnya, sambil menunggu dengan was-was tentunya: siapa lagi yang akan digarap?

Persoalan yang terjadi menjelang akhir kepemimpinan Komisioner KPK, justru menjadi momentum yang berbanding-terbalik dengan persepsi yang sudah terbangun. Dua dari lima Komisioner ditetapkan sebagai tersangka: AS dan BW.

Opini memang terbelah. Ada yang menyebut sebagai kriminalisasi, dan ada yang memastikan bahwa memang ada unsur tindak pidana kriminal yang diperbuat oleh kedua orang tersebut dalam perkara pidana yang disangkakan atas keduanya.

Tentu, semuanya akan diuji di pengadilan nanti. Dan akan lebih fair kalau proses hukumnya tidak diintervensi. Termasuk intervensi oleh kekuatan opini.

Tapi, persoalan belum selesai. Tiga gugatan pra-peradilan pada tiga orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK, diterima hakim.

Artinya, apa yang disangkakan oleh penyelidik dan penyidik KPK pada tiga orang ini sehingga memiliki status tersangka, diputus oleh hakim pra-peradilan sebagai hal yang tidak sah!

Artinya: penetapan tersangka oleh KPK batal demi hukum.

Artinya: KPK salah dalam menetapkan tersangka!

Sekali lagi, ini berbanding terbalik dengan tema yang di-declare oleh KPK sendiri kepada publik: one hundred percent conviction rate.

Secara pribadi, terus terang saja saya agak miris dengan target one hundret percent conviction rate itu. Bagi saya (ini pandangan pribadi saja), jika semua penegak hukum menerapkan doktrin seratus persen enggak pernah salah, lalu dimana keadilan dan hukum bekerja? Kecuali, jika penegak hukum sudah dilakukan oleh mereka yang ada di level “malaikat”.

Hukum dan lembaga hukum adalah produk manusia. Selain berkembang dan dinamis, hukum yang dilaksanakan dan berlaku untuk manusia, memiliki ciri dasar yang sesungguhnya melekat pula pada sifat dasar manusia, yaitu kekhilafan atau kesalahan.

Hukum, tentu bukan seperti film-film fiksi produksi Marvel atau Hollywood yang bisa dilakukan seenaknya oleh tim super yang tergabung dalam justice league. Tidak bisa penegak hukum menegakkan hukum dengan melanggar hukum. Hukum bukan cuma urusan dar der dor.

Untuk hal yang ini, saya selalu merujuk pada ayat di dalam kitab, di agama yang saya yakini. Bahwa, janganlah kebencianmu pada sesuatu membuat kamu berlaku tidak adil atas sesuatu itu.

Saya pahami ayat itu sebagai garis utama dalam penegakan hukum, yaitu obyektifitas.

* * *

Bagaimana masa depan KPK dengan fakta di atas?

Saya bisa memberi ilustrasi lagi, tentang hal yang berpotensi menimbulkan “kekacauan” sosial-politik yang besar jika tidak dilakukan revitalisasi dan reformasi di kelembagaan KPK.

Ada putusan yang berpotensi menjadi “trigger” pada proses penegakan hukum jika KPK tidak segera direvitalisasi dan direformasi. Apa itu?

Putusan hakim pra-peradilan PN Jakarta Selatan atas gugatan Hadi Poernomo yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Dalam amar pertimbangannya, ada beberapa hal yang menurut saya akan mempengaruhi prosedur penegakan hukum yang tengah ditangani KPK.

Secara umum, bunyi pertimbangan itu sebagai berikut:

Terkait penetapan tersangka, KPK tidak melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam UU KPK. Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelahgunaan wewenang pada 21 April 2014. Penetapan tersangka itu bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik-17/01/04/2014.

Menimbang, dengan demikian, harus ada proses penyidikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya.

Di dalam UU KPK, memang tidak diatur secara tegas mengenai waktu penetapan seorang tersangka apakah di awal atau di akhir penyidikan. Namun, Pasal 38 UU yang sama menyatakan bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur di dalam KUHAP juga berlaku bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK.

Bahwa tindakan penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah. Sebab, Dadi tidak menyandang status penyelidik pegawai negeri sipil di instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Status Dadi hanya sebatas sebagai auditor.

Ambarita sendiri telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014. Dengan demikian, status penyidik yang sebelumnya melekat kepadanya telah hilang sejak ia diberhentikan.

Pengadilan tidak sependapat dengan pernyataan ahli termohon yang menyatakan KPK dapat mengangkat penyidik independen. Bahwa dalam hal tidak memberikan peluang kepada KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri, maka pengangkatan penyelidik dan penyidik independen batal demi hukum.

Bagi saya, amar pertimbangan putusan ini sudah jelas mengarah bahwa ada problem legalitas dalam prosedur penegakan hukum di KPK. Yaitu legalitas penyelidik dan penyidik. Inilah yang saya sebut berpotensi menjadi “trigger” terjadinya kekacauan yang berimplikasi pada persoalan sosial-politik di tahun-tahun ke depan.

Kenapa?

Karena ini menyangkut perkara yang ditangani KPK. Jika tidak segera dilakukan revitalisasi dan reformasi pada struktur kelembagaan dan prosedural, selain ancaman pra-peradilan, lembaga KPK juga berpotensi menimbulkan bertindak subyektif dan tidak adil!

* * *

Panitia Seleksi Capim KPK sedang bekerja. Mencari, mengolah, menelusuri, mendebatkan, bahkan juga mungkin merpertaruhkan nama-nama yang saat ini sudah masuk ke dalam daftar nominasi calon pimpinan KPK.

Tentu, di dalam proses ini ada transparansi publik. Dimana, siapa saja boleh memberikan masukan atau pertimbangan, bahkan laporan kepada Pansel Capim KPK untuk digunakan sebagai kriteria dalam menentukan calon pimpinan KPK.

Sungguh, saya berharap para srikandi Pansel Capim KPK ini tidak mengambil keputusan yang salah. Terutama dalam hal penentuan kriteria seseorang. Bahwa, penentuan kriteria tidak bisa dipersempit hanya pada popularitas, kapasitas, akuntabilitas atau rekam jejak masa lalunya saja.

Lebih dari itu, saya mendorong Pansel Capim KPK untuk memperluas kriteria Calon Pimpinan KPK dengan kriteria “Profesionalitas dan Otoritas.”

Profesional, tentu dalam kerangka penegakan hukum. Apakah calon ini memiliki pengalaman dalam sebuah perkara yang menuntut diterapkan prosedur hukum yang sah? Atau, apakah calon ini pernah melakukan abuse of power dalam penegakan hukum?

Bagi saya, ini menjadi penting untuk tahun-tahun ke depan berjalan atau tidaknya KPK sebagai institusi penegak hukum. Tanpa kemampuan profesional di bidang penegakan hukum, maka KPK akan kembali ke sejarah lama, populer di mata publik tapi gagal dalam penerapan prosedur hukum. Malah, yang lebih gawat, ada potensi terinfiltrasinya KPK oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

Tentang kriteria otoritas, tentu ini merujuk pada kemampuan calon pimpinan KPK pada kemampuannya membangun Sinergitas Kelembagaan Penegakan Hukum.

Saya melihat, diantara daftar calon pimpinan KPK, ada beberapa jenderal polisi dengan pengalaman dan catatan yang kredibel dalam hal penerapan prosedur penegakan hukum. Juga ada jaksa-jaksa senior yang bertahun-tahun mewakili negara memenangkan argumentasi dalam sidang-sidang pengadilan.

Pansel Capim KPK sudah waktunya berani mengambil keputusan pada individu yang memang memiliki otoritas terhadap kerja-kerja penegakan hukum. Figur yang bisa membuka akses pada lintas institusi penegakan hukum. Figur yang mampu menjadi stake-holder pada share-authority kelembagaan hukum.

Fakta bahwa KPK tidak bisa berdiri sendiri atau bermain sendiri dalam penegakan hukum sudah sangat jelas terbukti. Butuh sinergitas dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.

Sentimen, praduga, asumsi atau bahkan mungkin persepsi bahwa kedua lembaga penegak hukum itu belum bersih, tidak bisa menjadi alasan bagi KPK untuk kemudian membentuk dan membangun mekanisme sendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Sinergitas lembaga penegak hukum adalah bagian dari penguatan hukum di Indonesia. Bukan pemuasan atas tema atau agitasi politik kelompok-kelompok tertentu.

Hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit runtuh. Termasuk, jika langit-langit popularitas dan kemasyhuran itu sudah tidak menggelayuti lagi di atas gedung KPK.

Sudah waktunya, Pansel Capim KPK mempersiapkan yang terbaik untuk masa depan hukum Indonesia. Terutama, hukum yang berdasarkan kebenaran dan keadilan. Bukan kepopuleran!

* penulis adalah wartawan yang peduli pada proses penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.