Budi Gunawan Jadi Kapolri, Aktivis 98 Minta ICW Ngaca Tidak Campuri Hak Preogratif Presiden

oleh
oleh

Willy PrakarsaJakarta, beritaasatu.com – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) meminta para pegiat anti korupsi (Indonesia Corruption Watch (ICW)) untuk berkaca diri tidak mencampuri hak preogratif Presiden Joko Widodo mengenai penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri.

“Penunjukan Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Pak Jokowi adalah hak preogratifnya, tidak ada kaitannya dengan para pegiat anti korupsi,” demikian disampaikan Ketua Presidium Jari 98 Willy Prakarsa, di Jakarta, Sabtu (10/1/2015).

Lebih lanjut, Willy menilai isu soal rekening gendut yang diarahkan kepada Budi Gunawan merupakan black campaign. Harusnya, ICW itu mendukung Budi Gunawan agar mulus saat pelantikan kedepan.

“Isu rekening gendut adalah cerita fiksi, faktanya PPATK dan BPK sudah clear melakukan pemeriksaan dan nyatanya Budi Gunawan tidak terindikasi soal rekening gendut,” terang Willy.

Dikatakan dia, pihaknya pun sangat mengapresiasi dan menghormati hak preogratif Presiden dalam mengambil sikap soal penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Apalagi pemerintahan Jokowi menggunakan sistem Presidensial yang bermahzabkan UUD 1945 dan Pancasila.

“Kalau perlu, JARI 98 akan memotori gerakan dukung Presiden Jokowi bubarkan KPK. Karena keberadaannya tidak diatur dalam UUD 1945,” beber dia.

Menurut Willy, KPK hanya lembaga yang bersifat Ad hock, dan keberadaannya dinilai banyak menguras APBN yang terkesan lebih besar pasak daripada tiang soal pendapatannya. Maka itu, Willy berharap agar para pegiat anti korupsi idealnya segera merapat perkuat peranan Kepolisian dan Kejaksaan. Karena kedua institusi itu adalah legal dan konstitusional dari pada KPK yang inkonstitusional.

“JARI 98 akan mengajak semua elemen gerakan untuk menyuarakan kebenaran guna mencerdaskan anak bangsa soal keberadaan KPK sebab lembaga anti rusuah itu Inkonstitusional alias tidak diatur dalam UUD 1945,” tegasnya.

Lebih jauh, Willy menyinggung bahwa apa hebatnya KPK. Jika tidak ada peranan Polri sebagai penyidik di KPK dan peranan Kejaksaan sebagai Jaksa Penuntutan di KPK.

“Aneh jika publik diamputasi dari nilai-nilai kebenaran hakiki. Jika para pegiat anti korupsi tidak percaya dengan peranan Polri dan Kejaksaan. Artinya pegiat anti korupsi jelas ingin menggerus keberadaan UUD 1945 dan Pancasila. Maka tidak ada salahnya bila Polri melakukan penangkapan terhadap mereka yang berkedok mengatasnamakan pegiat anti korupsi,” cetus dia.

Lebih jauh, Willy kembali mengusulkan kepada pemerintahan Jokowi-JK agar masyarakat diberi penyuluhan tentang demokrasi agar kebebasan dalam berekspresi dapat terkelola dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam batang tubuh Pancasila.

“Demokrasi sudah menjadi carut marut, maka saya usulkan agar pemerintahan Jokowi untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat soal demokrasi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding Presiden Joko Widodo diskriminatif dalam menentukan posisi Kapolri dan Jaksa Agung. Pasalnya, menurut hanya posisi Kapolri dan Jaksa Agung yang tidak melalui penelusuran rekam jejak atau track record di KPK dan PPATK.

Penegasan tersebut disampaikan Badan Pekerja ICW, Emerson Yunto di Jakarta, Sabtu (10/1/2015).

“Ada proses yang diskriminatif, karena Jaksa Agung dan Kapolri tidak melibatkan KPK dan PPATK,” tuturnya.

Dalam konteks penunjukan calon tunggal Kapolri, ICW mencurigai Jokowi telah mengetahui bahwa Komjen Pol Budi Gunawan memiliki rekam jejak yang tidak baik, sehingga proses penelusuran rekam jejak melalui KPK dan PPATK dihindari Presiden Jokowi.

“Yang jadi masalah juga adalah kenapa KPK dan PPATK tidak dilibatkan, apa pihak Istana sudah tahu betul soal rekam jejak dia ini (Budi Gunawan). Karena itu KPK dan PPATK tidak dilibatkan,” kata Emerson.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.