Beritaasatu – Mengingat keterbatasan waktu dan jarak antara Jakarta dan Papua, serta ketiadaan komunikasi yang bisa diverifikasi atas peristiwa penyerangan terhadap ibadah sholat Idul Fitri di Tolikara, Papua Jumat kemarin, 17 Juli 2015, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pun menyatakan mengutuk pembubaran sholat Idul Fitri tersebut.
“Serangan ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas beribadah yang melekat pada setiap orang yang meyakininya,” demikian disampaikan Koordinator KontraS Haris Azhar, Sabtu (18/7/2015).
Lebih lanjut, Haris, menyayangkan pihak Kepolisian yang membiarkan peristiwa tersebut terjadi, padahal surat pembubaran sholat tersebut dikeluarkan pada 11 Juli 2015, berjarak 6 hari sebelum penyerangan dan pembubaran.
Haris pun meminta agar pihak penegak hukum dan keamanan bertanggung jawab mengembalikan rasa aman masyarakat, terutama mereka yang berbeda keyakinan dan agama, dan melakukan penegakan hukum secara baik dan proporsional.
“Kami meminta Pemda untuk mengupayakan tindakan yang maksimal untuk memfasilitasi dan mediasi pencegahan konflik,” jelasnya.
Selain itu, Haris menyerukan agar warga dan masyarakat serta organisasi keagamaan segera mendorong penegakan hukum dan pencegahan konflik atau kekerasan.
Pasalnya, dalam catatan KontraS, dalam 4-6 tahun terakhir isu keamanan di Papua dan isu kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah adalah isu yang sensitif, terjadi banyak peristiwanya dan memberikan dampak korban yang meluas.
“Kami berharap kita semua bisa mendorong pemerintah, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh bangsa melakukan pencegahan kekerasan dan konflik di Indonesia, lebih khusus lagi dalam konteks ini di Papua,” pungkasnya.