Jakarta, beritaasatu.com – Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengaku ingin mendengar langsung problem yang saat ini menjadi gejolak konflik antara KPK dan Polri. Melihat situasi itu, Mahfud mengemukakan bahwa semua pihak masih membutuhkan KPK.
“Tadi awalnya saya minum kopi. Kedua saya ingin mendengar langsung problem yang sekarang timbul. Saya termasuk yang melihat KPK ini sedang dalam ancaman, ancaman pelumpuhan padahal kita semua butuh KPK,” kata Mahfud usai pertemuan dengan pimpinan KPK, Jumat (6/2/2015).
Diketahui Mahfud keluar Gedung KPK sekira pukul 11.30 Wib.
Dikatakan dia, dirinya sudah berbicara dengan beberapa orang dan negara ini harus diselamatkan. KPK ini adalah anak kandung reformasi yang meruopakan salah satu anak kandung yang paling berhasil melaksanakan tugas-tugas. Namun, kata dia, sekarang ada ancaman karena itu misalnya soal ancaman hukuman.
“Hukum pidana terhadap para komisonernya yang ini tadi saya diskusikan banyak pada intinya kita semua bangsa Indonesia baik Polri, KPK, Presiden dan para Menteri semuanya harus sama pandangan bahwa negara harus diselamatkan, salah satunya pemberantasan korupsi harus diteruskan,” jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, tindakan hukum terhadap Komisoner KPK maupun personiil Polri itu harus dibedakan antara Mala In Se dan Mala Prohibita (cari sendiri ejaannya) mala inse orang melakukan tindakan hukum selain melanggar aturan resmi juga melanggar aturan dalam masyarakat, itu mala hinse. tapi kalau mala prohibita orang melanggar aturan tetapi sebenarnya enggak merugikan apa-apa.
Lebih lanjut, Mahfud mencontohkan seseorang mencantumkan nama orang di KK karena keperluan praktis, pembantunya tidak memiliki dokumen resmi dari daerah asalnya lalu dibawa ke kantor Kelurahan.
“Tolong ini cantumkan pembantu saya kedalam keluarga saya. Itu mungkin dari prsedur salah, tetapi kesalahannya mala prohivita bukan mala inse. begitu-begitu kalau dijadiin pidana yang serius menimbulkan kesan kriminalsasi. Kita ini sebenarnya punya arah kebijakan, yaitu arah hukum yang ke arah restoratif justice. Itu tidak terlalu membesarkan hal yang sepele,” paparnya.
Sementara yang disebut ‘Mala Prohibita’, tengah malam anda melanggar lampu merah, itu melanggar aturan tapi kan tidak merugikan orang lain karena sepi, jadi hukumannya seharusnya dibuat tidak terlalu serius. Sama juga orang yang dituduh memalsukan dokumen padahal masalahnya sepele.
“Orang punya KTP banyak padahal hakim-hakim, pejabat ktp nya lebih dari satu semua melanggar
aturan itu Mala Prohivita bukan Mala Inse. Seperti saya tuh waktu jadi Menteri tanpa minta surat pindah tiba-tiba datang KK dan KTP sebagai
penghuni rumah dinas negara misalnya, kapan saya minta ini, itu kan tidak melanggar rasa keadilan meskipun aturannya tidak meminta tiba-tiba datang surat pindah, banyak pejabat begitu,” beber dia.
Lebih jauh, Mahfud melihat kasus Samad yang di Sulawesi Barat adalah sifatnya ‘Mala Prohibita’, bukan serius pemalsuan.
“Tapi itu bagaimanapun negara ini harus dijaga. KPK itu anak kandung reformasi dan KPK itu dulu
didirikan untuk bersama-sama Polri dan Kejaksaan bukan untuk bermusuhan. Oleh sebab itu kalau ke depan negara ini baik harus sama tujuan KPK dengan Polri untuk menangani kasus-kasus itu harus bersinergi, sinergitas, bukan rivalitas seperti yang sekarang dirasakan oleh masyarakat,” tukasnya.