Oleh: Abdul Ghopur
Setelah hampir 80 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia (2,5 bulan ke depan), ternyata masih banyak persoalan-persoalan mendasar kebangsaan belum benar-benar kita selesaikan secara tuntas. Masih ada sebagian masyarakat kita yang fobia terhadap norma-norma dan dasar negara kita, Pancasila? Sebaliknya, perasaan kedaerahan, etnisitas, ras, kesukuan, bahkan keagamaan yang sifatnya privat malah makin mengemuka. Dalam hal ini mari kita menggugah khalayak bahwa Pancasila masih sangat membutuhkan penyegaran pemahaman. Alasannya cukup jelas, perjalanan bangsa selama era Reformasi kerap mengalami disorientasi ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan persoalan. Para pengambil kebijakan lebih memilih pertimbangan pragmatis jangka pendek ketimbang bersusah payah mematangkan visi bangsa yang telah dimiliki.
Lantas, bagaimana menyegarkan pemahaman kita terhadap Pancasila? Di sinilah kita bersama wajib memberikan sketsa gagasan bagaimana seharusnya norma-norma Pancasila dan konstitusi diterjemahkan. Bagaimana Pancasila diletakkan. Bercermin pada sejarah awal saat dirumuskannya, ideologi bangsa itu harus dipahami sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial (gentlemen agreement) antara berbagai komunitas untuk mengikat diri menjadi satu bangsa, Indonesia.
Dalam artikel yang saya tulis dalam rangka menyambut 80 tahun kelahiran Pancasila kali ini, saya akan berusaha memeras (menyingkat) pembahasan/uraian lengkap tentang sejarah kelahiran Pancasila (karena terbatasnya ruang dan waktu). Versi lengkapnya nanti akan saya tuangkan pada 22 Juni 2025.
Pancasila sesungguhnya tidak lahir di ruang hampa, akan tetapi lahir dari sebuah proses sejarah yang sangat panjang dan dinamis. Pancasila lahir dengan dilandasi dasar sejarah perjuangan bangsa Indonesia lewat pengembaraan batin dan pikiran, yang bercermin pula pengalaman bangsa-bangsa lain di dunia. Pancasila dilahirkan dari rahim ilham para pendri bangsa (founding fathers) yang digali dan berakar dari bumi Nusantara (nilai-nilai luhur) dan keperibadian bangsa ini, di samping juga bercermin pada gagasan-gagasan besar dunia. Tetapi tetap berakar-urat pada tradisi, sejarah, pengalaman, karakter dan citra diri bangsa Indonesia.
Sebagai suatu konsep, Pancasila telah melalui serangkaian proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang cukup panjang, sekurang-kurangnya sejak awal abad XX (dua puluh) dalam bentuk ritisan-rintisan ide atau gagasan dalam mencari sintesa antar-pelbagai ideologi serta gerakan di dunia dan di Indonesia sendiri. Proses ini ditandai dengan penemuan nama “Indonesia” sebagai kode (simptom) kebangsaan masyarakat Nusantara (civic nationalism).
Sebagai common denominator, Pancasila lahir sebagai respon pergulatan ideologi-ideologi dunia termasuk di Indonesia. Perumusan konseptualisasi Pancasila sendiri dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Yakni merumuskan dasar, ideologi dan falsafah negara bagi suatu negeri yang akan meredeka. Dalam sidang BPUPKI terjadi pergulatan sekaligus pergumulan pemikiran serta titik-“tengkar” dan titik-temu (common denominator) pikiran yang tak terelakkan antara para anggota BPUPKI yang menyodorkan pandangannya tentang sila-sila yang kita kenal sekarang sebagai Pancasila.
Pidato Ir. Soekarno/Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 menutup rangkaian perdebatan sidang BPUPKI yang menawarkan lima prinsip dasar negara yang diberi nama Pancasila atau lima sila yang diambil dari bahasa Sansekerta/sanskrit. Di awal pidatonya, pada 1 Juni 1945, Soekarno terlebih dahulu mencoba memberikan pandangannya mengenai apa yang dimaksud oleh Ketua BPUPKI, cuplikan pidatonya yaitu sebagai berikut: “Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda ‘philosofische gronslug’ dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische groslug itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische gronlusg, atau, jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu ‘weltanschauung,’ di atas dimana kita mendirikan Negara Indonesia itu … Apakah weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?” (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1998).
Menurut kesaksian Moh. Hatta, ketika Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan kepada para anggota sidang BPUPKI tentang dasar negara Indonesia merdeka, hanya Soekarnolah yang secara eksplisit menyebutkan Pancasila dan rumusannya pada tanggal 1 Juni 1945 (lihat, Mohammad Hatta, Memoir, Reprint oleh Yayasan Hatta, 2002, hlm. 435). Dalam proses perumusan dasar negara ini, Soekarno merupakan salah seorang anggota atau tokoh yang memainkan peranan sangat penting. Dia berhasil mensintesiskan (memadukan) berbagai pandangan yang muncul selama dalam persidangan BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 (bahkan sudah puluhan tahun dia pikirkan). Gagasan tentang dasar negara Indonesia merdeka telah sejak tahun 1920-an dipikirkan Soekarno (terkait dengan pikiran, gagasan dan pengalaman perjuangannya sejak usia mudanya). Soekarno juga orang pertama yang mengonseptualisasikan dasar negara itu ke dalam pengertian “falsafah dasar” (philosofische grondslag) atau “pandangan komprehensif dunia” (weltanschauung) secara sistematis dan koheren. Dalam usaha merumuskan philosofische grondslag itu, Soekarno menyerukan dalam pidatonya: “Bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham: Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari satu weltanschauung yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.” (lihat, MATERI SOSIALISASI EMPAT PILAR MPR RI, hlm. 28).
Rumusan Pancasila dari Pidato Soekarno ini kemudian disempurnakan oleh Panitia Sembilan ke dalam rumusan versi Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945. Sedangkan fase pengesahannya secara final dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI yang mengikat seluruh bangsa Indonesia baik secara konstitusional maupun etika moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengenai Piagam Djakarta, akan saya beri ulasan sedikit di sini. Menjelang atau sesudah sehari diprokamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945), pada 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Djakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh PPKI. Perihal penting yang diubah oleh PPKI ini adalah pencoretan tujuh kata setelah kata “Ke-Tuhanan” yang semula berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi Ketuhanan Yang Masa Esa. Juga diubahnya klausul pasal pada batang tubuh UUD 1945 pasal 6 ayat (1) mengenai syarat Presiden. Semula syarat itu mensyaratkan presiden harus orang Indonesia asli yang beragama Islam sebagaimana usulan dari KH. Wachid Hasjim, tetapi kemudian diubah menjadi hanya “harus orang Indonesia asli.” Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Djakarta ini, dapat kita baca pada memoirnya Moh. Hatta (sekali lagi, akan saya tuangkan pada artikel saya berikutnya pada 22 Juni 2025).
Dengan menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila (demikian Bung Karno katakan), yang muncul adalah sila gotong-royong. Soekarno lebih kurang mau menegaskan bahwa dasar dari semua sila Pancasila itu adalah spirit (semangat) gotong-royong. Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Sedangkan prinsip kemanusiaannya harus universal dan harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadilan dan berkeadaban), bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif. Sementara prinsip persatuannya harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan yang sudah pasti ada, yaitu Bhinneka Tunggal Ika), bukan kebangsaan yang meniadakan (menegasikan) perbedaan atau pun sebaliknya menolak persatuan. Lalu, prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah-mufakat), bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas apalagi minoritas dan bahkan elit penguasa-pemilik modal.
Selanjutnya, prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi di bidang ekonomi dengan semangat dan asas kekaluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Seluruh proses dan rangkaian sejarah pembentukan atau kelahiran Pancasila (termasuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945― yang di dalamnya termasuk pembukaan/preambule UUD NRI 1945), merupakan rumusan dokumen Pancasila yang pernah ada, baik yang terdapat pada pidato Ir. Soekarno maupun rumusan Panitia Sembilan yang tertuang pada Piagam Djakarta, merupakan sejarah dalam proses penyusunan dasar negara. Seluruh rumusan tersebut autentik (otentik), sampai akhirnya disepakati secara musyawarah-mufakat sebagai sebuah rumusan final Pancasila dan Preambule serta seluruh alenia UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi, jika merunut pada proses dan rangkaian sejarah pembentukan atau kelahirannya rumusan dasar negara Republik Indonesia itu ada tiga (3) rumusan dasar negara yang diberi nama Pancasila, yakni pertama, rumusan konsep Soekarno yang disampaikan pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Kedua, rumusan yang dibuat bersama oleh Panitia Sembian dalam Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945. Dan, ketiga, rumusan Pembukaan/Preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian, rangkaian dokumen sejarah tersebut yang berawal dari 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, hingga teks final 18 Agustus 1945, adalah sebagai satu kesatuan rangkaian dalam proses lahirnya falsafah atau dasar negara Republik Indonesia, yakni Pancasila.
Sejak pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Djakarta 22 Juni 1945, sampai akhirnya lewat proses pengesahan secara konstitusional finalisasi Pancasila sebagai rumusan dasar atau falsafah negara 18 Agustus 1945, jumlah sila-silanya tak pernah berubah atau diubah. Hanya pada sila pertama saja yakni tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya setelah kata “Ketuhanan,” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Demikianlah secara singkat dapat diterangkan di sini sebuah rangkaian dan proses sejarah yang cukup panjang, bagaimana para pendiri bangsa (founding fathers) baik yang tergabung dalam anggota sidang BPUPKI, anggota PPKI, anggota Panitia Delapan (Panitia Kecil), dan anggota Panitia Sembilan mengonseptualisasikan, meramu, meracik dan merumuskan Pancasila hingga final pada tanggal 18 Agustus 1945. Yang perlu kita ingat adalah semua proses dan fase perumusan Pancasila itu benar-benar melibatkan partisipasi baik pikiran, batin, tenaga, waktu, serta moril dan materil yang semurni-murninya yang luar biasa dari beragam unsur dan golongan serta elemen bangsa. Sehingga, Pancasila dan UUD 1945 memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi sebagai landasan atau dasar atau falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita kenal dan rasakan dari dulu sampai saat ini.
Pertanyaan kemudian, mengapa dasar negara ini menyatukan dan menjadi acuan, pedoman serta panduan keindonesiaan kita? Jawabannya karena Pancasila merupakan maha karya bersama anak bangsa yang dihasilkan melalui pengembaraan sejarah yang panjang serta hasil konsensus (kesepakatan suci) bersama yang menyatukan keindonesiaan kita semua. Pancasila bukanlah sekedar pikiran-pikiran semata, melainkan suatu konsepsi nilai-nilai yang menerobos definisi nilai kemanusian universal dan sebuah perangkat tata nilai yang mewujud (mengejawantah) dalam pelbagai sendi kehidupan berbangsa-bernegara (sebagai landasan etika dan moral dalam pembangunan pranata sosial, seni, budaya, pemerintahan, politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya). Dalam rangka memperkokoh Pancasila sebagai idelogi, falsafah dan pedoman bangsa menuju Indonesia raya, Pancasila membutuhkan kerangka kerja yang lebih lengkap untuk mengoperasionalisasikannya dalam kehidupan nyata. Pancasila harus menjadi referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa. Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Dengan cara itu kita dapat mengontekstualisasikan Pancasila sesuai semangat zaman. Jika tidak demikian, Pancasila akan hanya menjadi illiterate-ideolgy/ideologi buta huruf, atau sekadar blind-rhetoric.
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda).
Komentar