Jakarta, beritaasatu.com – Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane mengatakan perang bintang saat menjelang pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) merupakan bagian dari tradisi Korps Bhayangkara.
“Dia (perang bintang) muncul ketika menjelang pergantian Kapolri. Perang bintang tumbuh berkembang dari sikap diskriminatif yang tumbuh di kepolisian,” ujarnya setelah Diskusi di Dapur Selera, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (18/1/2015).
Neta menjelaskan, sikap diskriminatif itu muncul seperti misalnya ada konflik antar suku, konflik antar angkatan, konflik antar akpol dan non akpol, serta antar laki-laki dan perempuan.
“Non akpol jangan harap menduduki jabatan strategis. Agama tertentu jangan harap jadi Kapolda di suatu daerah, dimana mayoritas penduduknya beragama berbeda,” ungkapnya.
Menurut dia, sikap diskriminatif yang menjadi akar dan meluas ketika pergantian Kapolri membuat perang bintang ini lebih jorok dan lebih luas.
“Kita data ada tiga kategori (oknum) yang jadi bagian meluas. Ada orang yang tidak rela Kapolri sekarang diganti. Ada yang merasa dirinya lebih pantas jadi Kapolri ketimbang Budi Gunawan, serta ada yang berharap adanya kerusuhan, lalu durian runtuh jatuh ke pangkuannya,” tambah Neta.
Lebih lanjut, presidium IPW ini mengatakan para oknum yang terlibat dalam perang bintang saat pergantian Kapolri masih aktif semua. “Kalau tidak aktif, tidak akan didengarkan. Pokoknya jenderal,” pungkas Neta.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo memilih menunda melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah ditetapkan tersangka oleh KPK. Presiden memutuskan untuk mengangkat Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.