12 Tahun Pasca Putusan MK 35 2012 Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat yang Terlambat

Nasional151 Dilihat

Jakarta – Hingga kini Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang menjadi mandat putusan MK 35 tidak kunjung disahkan, Kegagalan pemerintah dalam menjalankan putusan MK 35 memberikan dampak negatif bagi pemenuhan hak dan kehidupan Masyarakat Adat serta wilayahnya. Walau saat ini ada 342 produk hukum daerah yang telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan wilayah adat (AMAN, 2024). Namun ketiadaan UU Masyarakat Adat sebagai substansi hukum yang mengatur secara khusus Masyarakat Adat berdampak pada kebijakan daerah tersebut tidak maksimal dalam menghadirkan perlindungan bagi Masyarakat Adat beserta hak-hak dan wilayah adatnya.

Panjangnya prosedur pengakuan wilayah adat merupakan fakta yang harus dihadapi oleh Masyarakat Adat hingga kini. Situasi ini mengakibatkan Masyarakat Adat dihadapkan pada konflik agraria yang tidak berkesudahan, akibatnya Masyarakat Adat mengalami ancaman, intimidasi dan terancam mengalami kriminalisasi. Data Badan Registrasi Wilayah Adat atau BRWA (2023) sekurang-kurangnya terdapat 26,9 juta hektar wilayah adat dari seluruh nusantara yang telah teregistrasi di BRWA dan dari jumlah tersebut hanya 14% yang telah mendapatkan status pengakuan. Pemerintah melalui Kementerian LHK baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 ha. Kondisi ini tidak sebanding dengan cepatnya laju penerbitan izin bagi korporasi yang menjadi melegitimasi perampasan wilayah adat dan pengrusakan fungsi ekosistem penting yang menunjang kehidupan Masyarakat Adat. Terbukti sepanjang tahun 2024, AMAN mencatat seluas 2,8 juta hektar wilayah adat yang dirampas. Jumlah ini meningkat dari tahun 2023 yaitu seluas 2,5 juta hektar. Sepanjang tahun 2024, setidaknya 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di 140 komunitas telah terjadi. Situasi ini juga menjadi bukti yang tidak terbantahkan dari operasionalisasi undang-undang bermasalah yang diterbitkan oleh pemerintah, seperti UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, UU Minerba, UU Ibu Kota Negara dan UU KSDAHE.

“Sebagai salah satu anggota tim yang membuat anotasi putusan MK 35 dengan imajinasi bahwa persoalan konflik agraria, pengakuan dan perlindungan hutan adat sebagai bagian hak-hak Masyarakat Adat akan selesai, namun ternyata itu hanya mimpi. Pasca putusan MK 35, nyaris tidak ada perubahan apapun di lapangan. Konflik agraria yg tetap eksis dan masyarakat tetap terancam baik oleh intimidasi maupun kriminalisasi, kata Siti Rakhma Mary, Perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat.

Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen Bidang Advokasi dan Politik juga menyampaikan bahwa terjadi pembelokan dari putusan MK 35, dimana hutan adat saat ini dikategorisasikan berbeda dengan Hutan Hak sebagaimana mandat putusan MK. “Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan dimana hutan dikategorisasikan menjadi hutan hak, hutan negara dan hutan adat. Tindakan ini tentunya kontradiktif dengan putusan MK 35. Keberadaan Peraturan Daerah tidak cukup melindungi Masyarakat Adat beserta haknya. Undang-undang Masyarakat Adat sebagai jalan keluar dari persoalan Masyarakat Adat saat ini. Keberadaan Satgas Hutan Adat yang dibentuk oleh Kementerian Kehutanan juga belum maksimal berjalan, karena masih tahap kick off meeting”, kata Eras.

Terkait dengan proses penyusunan RUU Masyarakat Adat di DPR, Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislasi (blaeg) DPR RI mengatakan bahwa ketua DPR RI telah memberikan green line untuk melanjutkan proses RUU Masyarakat Adat tersebut. “Saya sebagai pengusul mengajak kawan-kawan semua untuk bisa melakukan langkah-langkah konsolidasi non parlemen agar usulan RUU MHA ini bisa terkoneksi dengan proses di parlemen,” kata Martin.

Martin Manurung juga mengatakan “Kita sudah sepakat dari sisi kebutuhan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat ini sudah final, ia dibutuhkan. Selama ini pengaturan soal Masyarakat Hukum Adat telah diatur dalam berbagai undang-undang sektoral, ini membuat rumit dalam pengaturan hak dan keberadaan Masyarakat Hukum Adat, karena harus mengacu ke masing-masing undang-undang tersebut, sehingga kita membutuhkan undang-undang Masyarakat Hukum Adat sebagai payung hukum.

“Perlu ada pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, karena Masyarakat Adat sudah ada bahkan sebelum negara ini ada. Sehingga sangat dibutuhkan segera UU MHA ini. Tidak boleh ada Masyarakat Adat yang terzolimi dan terlanggar haknya”, tambahnya.

Yance Arizona, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan “bahwa perlu ada perubahan paradigmatik untuk RUU Masyarakat Adat. Oleh karena itu dibutuhkan draf RUU yang baru yang berbeda dengan yang sudah pernah dibahas sebelumnya di DPR. Perubahan itu pertama terkait dengan penekanan pada aspek perlindungan dari pada aspek pengakuan. Selama ini kita terjebak dalam diskursus pengakuan yang memberikan diskresi terlalu besar kepada pemerintah untuk mengakui atau tidak mengakui masyarakat adat. Ke depan perlu lebih ditekankan aspek perlindungan yang menuntut tanggung jawab pemerintah dalam melindungi segenap bangsanya, termasuk masyarakat adat.”

Apalagi masyarakat adat merupakan salah satu dari kelompok rentan. Dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM, Masyarakat Adat masuk dalam entitas yang harus dilindungi oleh pemerintah, selain perempuan, anak, dan kelompok disabilitas.

Kedua, dengan perubahan nomenklatur kementerian, maka seharusnya pembahasan RUU Masyarakat Adat kedepan harus diambil alih oleh Kementerian HAM, bukan lagi oleh Kemendagri yang menerapkan pendekatan korporatis yang memposisikan pengakuan masyarakat adat sebagai pembentukan suatu korporasi yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Konsekuensi dari pendekatan HAM untuk RUU Masyarakat Adat menekankan peranan Kementerian HAM dalam proses penyusunan legislasi ini kedepan.

Ketiga, jebakan pengakuan hukum melalui Perda dan SK Bupati untuk penetapan masyarakat adat selama ini harus diganti dengan model registrasi atau pendataan. Jadi, proses mendata masyarakat adat harus dilakukan dengan lebih sederhana seperti proses warga memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan pendekatan layanan administrasi pemerintahan demikian, bukan lagi pendekatan politik, maka proses pendataan masyarakat adat yang menghasilkan database masyarakat adat di setiap daerah akan menjadi suatu modal dasar untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar lainnya, seperti hak atas tanah adat, hutan adat, pendidikan layanan khusus, kepercayaan, dan hak kebudayaan lainnya.

Keempat, Yance juga menjelaskan “perlu mencoba untuk menyusun RUU Masyarakat Adat dengan metode omnibus. Hal ini mengingat pengaturan mengenai masyarakat telah menyebar dalam belasan undang-undang sektoral. Bila penyusunan RUU ini tidak menyentuh undang-undang sektoral lain maka RUU Masyarakat Adat akan gagal menyelesaikan tumpang-tindih regulasi mengenai masyarakat adat dan tidak akan efektif ketika dilaksanakan di kemudian hari”, tutup Yance.

Siti Rakhma Mary menyampaikan hal yang berbeda dengan pandangan Yance terkait mengutamakan diskursus perlindungan ketimbang pengakuan. “Bagi saya pengakuan itu tetap menjadi hal yang terpenting. Perlindungan tanpa pengakuan tidak akan bisa berjalan dengan baik dan maksimal. Harus diakui terlebih dahulu hak Masyarakat Adat atas teritorinya. Misalnya jika di atas wilayah adat terdapat izin konsesi milik korporasi, maka pemberian pengakuan terhadap wilayah adat tersebut tetap harus dilakukan. Wilayah adat harus dikembalikan terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat. Jika Masyarakat Adat ingin konsesi korporasi keluar dari wilayah adatnya, maka pemerintah harus mengeluarkannya. Jika Masyarakat Adat menginginkannya, korporasi bisa tetap ada beroperasi, FPIC adalah syarat mutlak. Maka pengakuan wilayah adat dan perlindungan investasi tidak bisa dicampur adukkan, hal tersebut harus dipisahkan,” katanya.

“Restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi juga penting diatur dalam undang-undang Masyarakat Adat sebagai bentuk pemulihan atas kehilangan dan kerugian yang selama ini dialami oleh Masyarakat Adat” tutup Rakhma.

Komentar