Jakarta – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengadakan media briefing untuk menyampaikan urgensi dan perkembangan uji formil terhadap UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE), serta pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat yang selama ini hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah sebagai hutan negara dengan berbagai fungsi termasuk pada kawasan konservasi, pada Rabu (7/5/2025).
Dalam proses pembentukannya, UU KSDAHE 2024 dilakukan tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan UU dan menyalahi prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), khususnya partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat dan Lokal yang terdampak langsung dengan kawasan konservasi.
Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengulas salah-satu Prinsipal Uji Formil Undang-Undang KSDAHE dan memaparkan bahwa terdapat 3 alasan utama Prinsipal mengajukan judicial review UU KSDAHE. Yaitu karena tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain melanggar azas pembentukan UU yang baik, pembentukan UU KSDAHE juga melanggar ketentuan tentang meaningful participation sebagaimana telah ditetapkan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
“Dalam proses pembentukan UU KSDAHE sama sekali tidak mencerminkan adanya unsur partisipasi yang bermakna, kedayagunaan dan kehasilgunaan serta kejelasan pembentukan UU KSDAHE. Dari sekitar 20 kali pembahasan hanya dua kali yang terbuka untuk publik, sisanya dilakukan secara tertutup sebagaimana diakui oleh pemerintah dalam persidangan di MK dan diperkuat dengan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon yaitu Masyarakat Adat Tamblingan yang hadir dalam RDPU di DPR dan Indonesia Parliamentary Center semakin menegaskan ketidakpatuhan Pemerintah dan DPR terhadap Putusan MK No. 97/PUU‑XIX/2021 tentang meaningful participation.” ujar Muhammad Arman.
Pernyataan tersebut diatas dikuatkan oleh Tim Kuasa Hukum Judicial Review UU KSDAHE, Victor Santoso Tandiasa, sebagai Tim Hukum Pengujian Formil Undang-Undang KSDAHE menyatakan bahwa “Proses uji formil JR termasuk ‘speedy trial’ yang dilakukan selama 60 hari sejak keterangan Presiden diterima sampai batas maksimal adalah pada tanggal 28 Juni 2024. Mahkamah Konstitusi seharusnya memaksimalkan jangka waktu ini dengan menyediakan kesempatan penuh bagi pemohon untuk menghadirkan saksi dan ahli. Namun hingga kini Pemerintah belum dapat menunjukkan daftar hadir siapa saja yang mengikuti pembahasan RUU KSDAHE. Lebih jauh, ahli yang diundang dalam RDPU pun tidak diberikan naskah akademik, sehingga terbukti bahwa DPR dan Pemerintah hanya menjalankan formalitas tanpa benar‑benar mewujudkan meaningful participation.”
Media briefing ini menyoroti pentingnya pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak Masyarakat Adat serta lokal di kawasan konservasi. Dalam praktiknya, pendekatan konservasi yang eksklusif telah menimbulkan berbagai bentuk kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi Masyarakat Adat yang tinggal secara turun-temurun di wilayah adat mereka yang kini masuk dalam kawasan konservasi.
Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCA Indonesia menyampaikan bahwa hal di atas tidak lepas dari keberadaan UU No. 5 Tahun 1990 yang belum mengakui peran Masyarakat Adat sebagai aktor utama konservasi, padahal secara empiris praktik konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal secara turun temurun sangat mencerminkan praktik konservasi yang holistik, adil, dan lestari. Karena itu, perubahan terhadap UU ini menjadi fokus advokasi WGII sejak tahun 2016.
“Saat Rancangan Undang-Undang KSDAHE masuk prolegnas, kami segera konsolidasi dengan koalisi dan masyarakat adat untuk menyusun masukan, serta mendorong keterlibatan formal dalam RDPU. Sayangnya, masukan kami dalam bentuk DIM dan catatan kritis tidak diakomodir oleh pemerintah. Pemerintah dan DPR mengebutkan bahwa DIM hanya bisa disusun oleh pembentuk undang, dan masukan dari masyarakat sifatnya hanya dipertimbangkan. artinya DIM yang kami berikan tidak ada maknanya bagi penyusunan UU ini. Lantas untuk apa kami hadir dan dilibatkan? .” ujar Lasti.
“UU No. 32 Tahun 2024, alih-alih menjadi payung hukum konservasi yang lebih inklusif dan mengakomodasi hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal, justru mengandung substansi yang membuka celah lebih besar bagi perampasan ruang hidup dan hak-hak mereka. Hal ini tercermin dalam sejumlah pasal bermasalah, salah satunya terkait pemanfaatan jasa lingkungan untuk kepentingan geothermal (panas bumi) dan karbon,” tambahnya.
Undang-Undang KSDAHE juga tidak mengatur hak masyarakat adat atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam proses penetapan Kawasan Konservasi. Ketiadaan ketentuan ini mencerminkan bahwa keberadaan dan hak masyarakat adat tidak diakui dalam penetapan kawasan tersebut, sehingga ketika investasi atau proyek masuk ke dalamnya, masyarakat seringkali tidak dilibatkan. Padahal, sebagian besar wilayah yang dilindungi, dijaga, dan dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat adat dan komunitas lokal berada di dalam kawasan konservasi—namun hingga kini belum memiliki kejelasan status maupun pengakuan hak tenurial.
Terdapat banyak pasal-pasal bermasalah dalam Undang-Undang KSDAHE baru, Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia (FWI) yang juga sebagai Ketua Tim Kampanye Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menyatakan bahwa “Ada beberapa pasal dalam UU No. 32/2024 tentang KSDAHE yang berpotensi besar mengeksklusi Masyarakat Adat dari wilayahnya. Antara lain pasal 8 ayat 4 dan 5 yang mengatur pembagian areal preservasi. Areal preservasi bisa dari Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi, dan Areal Penggunaan Lain (APL). Pada pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi”.
Selama proses pembahasan berlangsung yang tidak melibatkan masyarakat sipil dan Masyarakat Adat ini jelas menjadi perhatian publik ketika sebuah produk hukum dan politik dihasilkan, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan DPR RI juga minim melibatkan masyarakat sipil dan organisasi lingkungan dan sosial.
“Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat harus menjadi bagian integral dari kebijakan konservasi, karena sejatinya Masyarakat Adat terbukti sebagai penjaga kelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia,” tutup Anggi.