Beritaasatu – Insiden kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua, yang berdampak pada terbakarnya sebuah rumah ibadah umat Islam yakni Mushala pada Jumat (17/07/2015) pagi disinyalir bagian dari operasi intelijen. Pasalnya, kehidupan beragama di bumi cendrawasih selama ini sangat baik.
“Ini murni operasi intelijen tingkat tinggi. Masyarakat Papua ini sangat santun dan toleran soal beragama dan merasakan kebijakan dan hati Pak Jokowi yang fokus pada keberpihakan pada kesejahteraan masyarakat papua,” ujar Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti, Fahmi Habsyi, di Jakarta, Sabtu (18/07/2015).
Indikasi adanya operasi intelijen dalam insiden Tolikara, menurut Fahmi, terlihat dari rangkaian peristiwa beberapa aksi sepihak yang menuntut referendum Papua di Jakarta.
“Jadi, dua minggu lalu saya sudah dapat informasi akan ada eskalasi meningkat di Papua. Tanda-tandanya nampak. Tapi, informasi dan letupan kecil tersebut tidak segera diantisipasi pihak intelejen kita dan aparat keamanan,” sesal Fahmi.
Fahmi mengingatkan, bahwa situasi di Papua tidak bisa dilihat berdiri sendiri dari satu insiden satu dengan apa yang digerakkan di Jakarta.
“Kita harus gunakan pendekatan helicopter view, jangan simptomian per kejadian. Nanti terlihat otaknya siapa yang mendanai, memprovokasi dan menggerakkan. Operasi intelejen ini seperti tukang bakarnya tidak terlihat, tapi asap dan bau nya terasa. Yang harus dijadikan analisa pertama dalam melihat setiap insiden di Papua, adakah pihak-pihak yang terganggu kepentingannya dengan kebijakan Jokowi di Papua saat ini? Siapa yang paling khawatir Papua lebih baik dan lebih maju? Setelah itu, petakan,” tukas Fahmi.
Namun, Fahmi menyayangkan, sikap aparat keamanan dan intelejen yang seharusnya memantau gerak pihak-pihak tersebut, bukan sibuk mengawasi masyarakat papua. Jika sudah seperti ini masyarakat Papua yang muslim dan non-muslim yang jadi korban.
“Ini melibatkan intelejen asing dan seorang tokoh intelejen berpengaruh di era SBY. Otaknya di Jakarta. Tapi apakah ada buktinya? Yah susah untuk ditunjuk aktor intelektualnya. Cukup Jokowi kasih “pesan politik” yang jelas dan tegas kepada yang coba bermain di Papua bahwa Presiden mengetahui dan akan gebuk balik. Saya sarankan aparat keamanan perlakukan rakyat Papua dengan lembut dan persuasif,” kata Fahmi.
Terkait dengan pembentukan Tim Mediasi atau Tim Dialog, Fahmi berpendapat, hal itu tidak perlu dilakukan. Karena, masalahnya bukan masyarakat Papua, tapi kekuatan lain lebih dari itu. Lingkaran Istana Presiden nampaknya, menurut Fahmi, tidak memberikan informasi utuh pada Presiden Jokowi.
“Ada pihak yang mencoba buat ‘penyakit’ dan sekaligus menawarkan ‘obatnya’ dengan kepentingan yang lain untuk dikompromikan. Ini gaya lama. Mudah-mudahan saja Pak Jokowi sudah tahu kok siapa otaknya. Atau memang tidak ada yang mengingatkan dan menginfokan ke Pak Jokowi untuk waspada situasi Papua setelah aksi minta refrendum. Jangan dianggap remeh, ingat kasus kerusuhan Ambon 1999 hanya perkelahian pemuda di terminal, yang di Papua lebih serius dari itu,” pungkasnya. (rm)