Jakarta, beritaasatu.com – Selaku pejabat negara, pimpinan dan anggota lembaga negara selevel Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) beberapa kali menerima pengaturan keprotokolan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pengaturan keprotokolan yang berbeda tersebut meliputi tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya.
Padahal, pengaturan keprotokolan terhadap pejabat negara sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya itu mewujudkan penghormatan terhadap lembaga negara, agar pelaksanaan tugasnya berhasilguna (efektif) dan berdayaguna (efisien). Namun, terjadi situasi dan kondisi tertentu yang tidak memungkinkan terlaksananya urutan tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan dalam acara kenegaraan atau acara resmi.
Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad menceritakan pengalamannya ketika menghadiri acara kenegaraan di Istana Negara seperti pelantikan menteri-menteri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang semestinya dilaksanakan berdasarkan peraturan tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan. “UU Keprotokolan tidak memberikan penjelasan yang lengkap,” ujarnya di ruangan GBHN Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/1), dalam diskusi “Implementasi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan”.
“Jabatan dan/atau kedudukan kami setara (antara pimpinan dan anggota DPD serta pimpinan dan anggota DPR). Mengapa pengaturan keprotokolannya berbeda? Penafsiran tata tempatnya berbeda. Di Istana Negara, beberapa kali saya menghadiri acara kenegaraan, berdirinya berdesak-desakan. Tata tempatnya tidak teratur,” sambung senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, menyinggung urutan tata tempat ihwal siapa yang berhak didahulukan, dan siapa yang berhak menerima prioritas.
Semestinya urutan tata tempat pejabat negara dalam acara kenegaraan atau acara resmi adalah Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ketua Mahkamah Agung (MA), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan Ketua Komisi Yudisial (KY).
Tata tempat Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua DPR, dan Wakil Ketua DPD seurutan dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Wakil Ketua BPK, Wakil Ketua MA, Wakil Ketua MK, dan Wakil Ketua KY; sedangkan anggota DPR dan anggota DPD seurutan dengan menteri, pejabat setingkat menteri, serta duta besar (dubes) luar biasa dan berkuasa penuh.
Farouk juga menceritakan pengalaman serupa ketika menghadiri 23rd Asia-Pacific Parliamentary Forum (APPF) Annual Meeting di Quito (Ekuador) bulan Januari 2015. “Di bandara, saya tidak dijemput dubes, Wakil Ketua DPR dijemput dubes. Begitu jamuan makan malam, dubes hanya melayani Ketua BKSP (Badan Kerjasama Parlemen) DPR. Saya gerah. Saya pun bertanya ke dubesnya, tapi dia tidak minta maaf.”
Diskusi Implementasi UU Keprotokolan juga menghadirkan narasumber Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Ahmad Rusdi, Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Perundang-undangan Muhammad Sapta Murti, Deputi Kepala Sekretariat Presiden Bidang Protokol, Pers, dan Media Dadang Kamal Anshory, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Yuswandi A Tumenggung.
Para narasumber mengakui bahwa pengaturan keprotokolan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang berbeda terjadi setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang berimplikasi pada perubahan pengaturan keprotokolan. Perubahan mendasar UUD 1945 antara lain ditiadakannya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara yang menjadi lembaga negara, disahkannya berbagai undang-undang yang menghasilkan lembaga baru yang keprotokolannya belum diatur dalam acara kenegaraan atau acara resmi.
Farouk menegaskan bahwa pengaturan keprotokolan diperlukan lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam undang-undang dasar seperti DPD. Persoalannya, UU 9/2010 tidak sesuai lagi dengan perkembangan sistem ketatanegaraan sehingga harus diganti guna penyempurnaan pengaturan keprotokolan, khususnya tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan kepada pejabat negara sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya.
Pengaturan keprotokolan dalam undang-ndang yang baru akan memberikan penghormatan kepada pejabat negara, memberikan pedoman penyelenggaraan acara agar tertib, rapi, lancar, dan teratur, serta menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa. Apalagi, UU 9/2010 memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan sejumlah peraturan pemerintah (PP) yang sampai sekarang kurang mengatur keprotokolan pimpinan dan anggota DPD.