GPII Beri Tips untuk Hindari Berita Hoaks & Ujaran Kebencian

oleh
oleh

JAKARTA – KETUA Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Masri Ikoni mengajak seluruh pemuda Indonesia untuk menghadapi pesta demokrasi 2019 (pemilihan umum presiden dan legislatif) dengan meriah. Ia juga mengingatkan generasi muda untuk menghindari hoaks, menjauhi ujaran kebencian, dan politik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang bisa mencederai demokrasi bangsa.

Masri, yang selalu aktif di organisasi kepemudaan ini, juga memberikan tips kepada kalangan milenial untuk menghadapi hoaks, di antaranya dengan mencek kebenaran dan asal sumber informasi terlebih dahulu.

“Yang pertama kita harus dalami apakah informasi itu benar seperti itu atau tidak dan dari mana sumbernya. Kalau tidak benar ya sudah di delete saja, jangan disebarkan,” ujar pemuda 39 tahun asal Gorontalo ini di kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (20/12) malam.

Menurut Masri, hari ini pemuda harus berpikir ke depan, ke arah Indonesia baru, sehingga Indonesia bisa maju. Dan pesta demokrasi 2019 merupakan momentum yang harus digunakan.
Jika Pemilu 2019 dicederai dengan itu semua, ujaran kebencian, hoaks, kemudian politik SARA yang sangat kental, ini berbahaya karena Indonesia sebagai negara/bangsa terbesar di dunia, sebab tidak ada negara yang memiliki pulau dan suku sebanyak Indonesia.

Karena itu, lanjut dia, jikalau isu SARA dan sekterian yang begitu kental digiring dalam pesta demokrasi 2019, tentu akan sangat berbahaya. Maka sebagai anak muda Indonesia, ini (isu SARA, sekterian, hoaks, dan lainnya) harus dilawan. Kalangan muda juga harus menyampaikan kepada seluruh bangsa bahwa Indonesia itu satu, Indonesia itu satu dalam keberagaman.

“Kita beragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai Miangas kita memang bermacam-macam corak dan suku tapi kita dalam satu kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tegas Masri.

Menyikapi peta perpolitikan di tahun ini, Masri mengatakan bahwa saat ini situasi (politik) masih terus berdinamika, perkembangan revolusi digital teknologi yang pesat dan begitu bermacam-macam semestinya tidak disalahgunakan oleh berbagai pihak, terutama pemuda Indonesia maupun lembaga.

Dan untuk menekan angka pelanggaran atau penyalahgunaan IT, ia menyarankan pentingnya pendidikan di masyarakat tentang keberadaan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik yang dapat dikenakan terhadap siapa pun yang dinilai telah melakukan pelanggaran melalui media sosial atau internet.

“Sebaiknya ada edukasi terhadap masyarakat bahwa dengan adanya UU ITE, maka mem-posting hal-hal yang berkaitan dengan ujaran kebencian atau memprovokasi massa untuk melakukan hal-hal yang bisa melanggar hukum, kemudian agitasi, propaganda harus kita sampaikan kepada mereka bahwa itu melanggar aturan dan bisa ditindak oleh kepolisian”, jelas Masri yang mengaku mulai tertarik dengan dunia politik.

Ia juga menambahkan generasi milenial saat ini tengah menikmati euforia memiliki gawai (gadget) sehingga ketika mereka memasuki ranah politik sebenarnya biasa saja. Sebagian memang ada yang tidak terlalu menganggapnya serius sehingga begitu saja mem-posting sesuatu.

Karena itu, menurutnya, perlu ada edukasi terhadap mereka sebab merekalah yang nanti akan menjadi orang-orang yang berada dalam bonus demografi. Cara menyampaikan edukasinya juga tidak seperti cara lama yang monoton, mungkin dengan melalui pendekatan khusus atau kelompok-kelompok kecil, terutama dalam rangka edukasi menghindari hoaks. Di sekolah-sekolah pendekatan mungkin bisa dilakukan melalui OSIS, kelompok pencinta alam, dan sebagainya.

“Untuk lebih berkreativitas menyalurkan aspirasi politik, generasi muda dapat berkiprah aktif pada bidangnya masing-masing,” tutup Masri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.