Persaingan Ketat Jokowi vs Prabowo di 6 Wilayah

oleh
oleh

Jakarta – Pilpres 2019 akan diikuti oleh dua pasang capres-cawapres. Pasangan pertama adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yang diusung oleh sembilan partai dalam Koalisi Indonesia Kerja yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI, dengan total kursi di DPR 60,4 persen. Pasangan kedua adalah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang diusung oleh koalisi partai yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, Berkarya.

Mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta menilai Pilpres 2019 dan 2014 mempunyai kemiripan dari segi rivalitas yaitu antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Pada Pilpres 2014 koalisi pendukung Prabowo Subianto adalah : Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrat. Koalisi partai pendukung Joko Widodo adalah : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKPI.

“Secara umum Pada Pilres 2014 Joko Widodo memenangkan Pilpres dengan margin yang tipis, dinamika politik pada saat itu juga cukup panas,” ungkap Stanislaus, hari ini.

Menurut dia, pada Pilpres 2019 tokoh sentralnya masih sama yaitu Joko Widodo yang akan bertanding melawan Prabowo Subianto, dengan cawapresnya masing-masing. Persamaan tokoh sentral ini membuat hasil Pilpres 2014 menjadi rujukan penting dalam penyusunan strategi dan prediksi Pilpres 2019.

Pada Pilpres 2014 tergambar propinsi yang menjadi basis massa pendukung Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Joko Widodo pada pilpres 2014 kalah signifikan (dengan capaian suara di bawah 45%) di Sumatera Barat (23%), Nusa Tenggara Barat (28%), Gorontalo (37%), Jawa Barat (40%), Banten (43%) dan Aceh (45%).

Prabowo Subianto pada 2014 kalah telak (dengan capaian suara di bawah 45% di Papua (26%), Sulawesi Barat (27%), Sulawesi Selatan (29%), Bali (29%), Papua Barat (32%), Kepulauan Bangka Belitung (33%), Jawa Tengah (33%), Nusa Tenggara Timur (34%), Kalimantan Timur (37%), Kalimantan Barat (40%), Kepulauan Riau (40%), DIY (44%), dan Sumatera Utara (45%).

“Meskipun data perolehan suara pada 2014 tersebut itu dapat menjadi gambaran, namun ada beberapa faktor koreksi yang bisa merubah hasil diatas secara siginifikan pada Pilpres 2019,” tuturnya.

Pertama calon Wakil Presiden yang berbeda, kata dia, Joko Widodo yang pada Pilpres 2014 bersama Jusuf Kalla, pada Pilpres 2019 akan bersama KH Ma’ruf Amin. Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 bersama Hatta Radjasa, pada Pilpres 2019 akan bersama Sandiaga S Uno. Meskipun komposisi cawapres tersebut akan mempengaruhi peta kekuatan berdasarkan basis massa masing-masing, namun kekuatan Capres sebagai tokoh utama masih sangat dominan.

Kedua Koalisi Partai Politik yang berbeda. Pada Pilpres 2014 Joko Widodo diusung oleh : PDI Perjuangan (PDIP), PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI. Sementara pada 2019 Joko Widodo akan diusung oleh koalsisi partai yang terdiri dari PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI. Prabowo Subianto pada 2014 diusung oleh koalisi Partai yang terdiri Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat.

Dikatakannya, koalisi partai ini tentu akan mempengaruhi bentuk dukungan dari kepala daerah sesuai dengan partai pengusungnya yang diperkirakan akan mambawa basis massanya, walaupun pada Pilpres 2019 ini anomali politik terjadi. Beberapa Kepala Daerah yang diusung oleh partai pengusung Prabowo Subianto justru memberikan dukungan kepada Joko Widodo.

Ketiga Menguatnya politik identitas. Hal ini terjadi dan dipicu oleh Pilkada DKI 2017 yang menggunakan isu agama sangat kuat, sehingga terjadi polarisasi di masyarakat.

“Pengaruh ini akan cukup kuat terutama pada basis-basis massa relijius fundamental,” sebutnya.

Fokus Pada Propinsi Padat Penduduk

Jika mengacu pada hasil Pilpres 2014, maka diperkirakan ada enam propinsi yang diprediksi terjadi persaingan ketat. Enam propinsi ini yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Pada Pilpres 2014 enam propinsi tersebut mempunyai jumlah suara sah antara 5-23 juta tiap propinsi, dengan total perolehan suara lebih enam propinsi tersebut dari 60% jumlah suara nasional.

Mengingat hasil pilpres ditentukan perolehan total nasional, dia perkirakan masing-masing tim sukses akan fokus pada kantong-kantong suara yang dipertimbangkan pula dengan kemudahan akses dan logistik. Keenam propinsi tersebut, hanya 1 propinsi di luar pulau Jawa yaitu Sumatera Utara relatih mudah dijangkau dari Jakarta yang menjadi basis Tim Kampanye Nasional.

“Fokus pada enam provinsi inilah yang diperkirakan akan menjadikan sebagai propinsi dengan persaingan yang sangat ketat dalam Pilpres 2019. Tanpa mengabaikan propinsi yang lain, namun melihat realita bahwa kemenangan Pilpres dihitung dari jumlah total suara nasional, maka menjadi sangat wajar dan logis jika pada enam propinsi tersebut masing-masing Tim Kampanye akan mencurahkan seluruh tenaganya untuk merebut kantong-kantong suara,” paparnya.

“Dengan perkiraan tersebut maka enam propinsi tersebut di atas patut mendapat perhatian ekstra dari penyelenggara pemilu, aparat keamanan dan intelijen, agar Pilpres 2019 berjalan dengan aman dan tertib, meskipun persaingan sangat ketat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.