Jakarta – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia 98 menyebut sistem dan program kabinet kerja rezim Jokowi-JK melahirkan amanat penderitaan rakyat dan semakin jauh dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.
“Sistem dan program kerja pemerintahan Jokowi-JK amburadul,” tegas Ketua Presidium Jari 98 Willy Prakarsa saat ditemui awak media di bilangan Menteng Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Lebih lanjut, aktivis 98 itu menuturkan mulai dari berbagai bidang dari Politik, Sosial, Hukum, Ekonomi dan Budaya mengalami kemunduran bukan lagi berjalan ditempat bahkan semakin tidak adanya suatu kepastian absolut.
“Politik Kabinet kerja Jokowi hanya menciptakan canda bukti ketidakseriusan membawa bangsa Indonesia lebih baik dan sejahtera,” tuturnya.
Ia pun mencontohkan Jokowi melakukan kesalahan fatal mulai dari penyebutan tempat lahir Presiden Ir. Soekarno di Blitar beberapa waktu lalu, kini di ikuti oleh Sekneg soal penyebutan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang seharusnya penyebutan yang benar adalah Badan Intelijen Negara.
Untuk bidang Sosial, lanjut Willy, membuahkan Preseden buruk menjadikan aksi demontrasi sebagai ajang rekreasi politik yang berakhir dengan bargaining politik, issue reshuffle menciptakan Koalisi KIH dan KMP.
“Biar keduanya dihujat rakyat secara bersama. Jadi KIH tak sendirian, minimal ada KMP sebagai bantalan kebijakan,” sebutnya.
Selanjutnya, sektor Ekonomi, kata Willy, semakin carut marut ditengah inflasi dengan fluktuasi yang semakin tidak jelas, menciptakan PHK massal dan membuka lebar pintu outsourching. Masuknya 10 juta orang Cina ke Indonesia jadikan rakyat semakin berat menjalani kehidupan.
“Hal ini akan berpotensi menciptakan revolusi sosial. Esok atau lusa sambil menanti murkanya rakyat di NKRI,” ujarnya.
Lebih lanjut, dibidang Hukum, tambah Willy, era Jokowi menciptakan kebodohan buat rakyatnya. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lembaga Adhok (sementara) yang seharusnya dibubarkan oleh karena tidak diatur oleh UUD 1945 dan rugikan APBN, justru dijadikan alat politik buat menakut-nakuti lawan politiknya Jokowi.
“Padahal secara konstitusional dalam penanganan tindak pidana korupsi hal itu ranahnya Kepolisian sebagai penyidik, dan Jaksa sebagai Penuntut. Bukan malah Jokowi sebagai Presiden intervensi kasus Novel Baswedan, Bambang Widjajanto dan Abraham Samad,” cetusnya.
Lebih jauh, bidang Budaya, sambung Willy, di Indonesia tidak lagi mengenal tradisi yang seharusnya dilestarikan seperti jenis tari-tarian, berubah menjadi tari Barongsai tradisi Warisan leluhur Cina yang ditunjang oleh Group LIPO (Lama-Lama Indonesia Punya Owe).
“Berangkat dari paparan itu, saatnya rezim Jokowi-JK berbuat yang terbaik. Ciptakan lapangan kerja meminimalisir angka kriminalitas,” pungkasnya.