Indonesia dalam Paradigma Baru Khilafah

Opini36 Dilihat

Oleh: Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar

3 Maret 101 tahun yang lalu Khilafah Turki Utsmani tutup buku.

Indonesia negeri Islam yang berada di pinggiran kekhilafahan masa lalu. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri 21 tahun setelah Khilafah Turki Utsmani runtuh. Indonesia berdiri ketika Turki telah menjadi negara sekuler yang bersekutu dengan Inggris.

Oleh karena itu secara formal dan informal Indonesia tidak punya hubungan apapun dengan kekhilafahan Islam. Indonesia Negara yang otentik, original dan genuine. Indonesia terputus selama dua dekade dari kekhilafahan Islam terakhir. Indonesia asli 100% produk dalam negeri.

Meskipun demikian symptom, atsar dan jejak khilafah masih ada di Indonesia hingga kini yang berhubungan dengan dakwah, kegiatan ilmiah kebudayaan dan ekonomi. Bukti-bukti sejarah yang berkaitan dengan politik dan kemiliteran antara Nusantara dan khilafah justru menunjukkan bahwa Nusantara bukan bagian dari khilafah.

Ada dua video yang sempat diviralkan kaum radikal di media sosial tentang hubungan politik kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani.

Pertama video tentang kesultanan Aceh yang meminta menjadi bagian integral dari Khilafah Turki Utsmani kepada Sultan Abdul Hamid II. Oleh Sultan, permintaan kesultanan Aceh ditolak Khilafah Turki Utsmani merasa tidak sanggup melindungi kesultanan Aceh disebabkan jangkauannya terlalu jauh. Kesultanan Aceh gagal menjadi bagian dari Khilafah Turki Utsmani.

Video kedua tentang penunjukkan Kesultanan Ngajogjakarta sebagai wakil resmi Khilafah Turki Utsmani di pulau Jawa. Kesultanan Ngajogjakarta justru menjadi wilayah pertama NKRI setelah Sultan Hamengkubuwono IX memaklumatkan bergabung ke NKRI pada tanggal 5 September 1945. Ketika khilafah sudah tidak ada, wakil resmi Khilafah Turki Utsmani bergabung dengan NKRI.

Symptom, atsar dan jejak khilafah di Nusantara memperkuat keabsahan historis NKRI sebagai sebuah negara yang syar’i karena dua kesultanan Islam di Nusantara, Aceh dan Ngajogjakarta, yang punya hubungan langsung dengan khilafah, bergabung dalam NKRI.

Dengan kata lain NKRI inilah khilafah kita setelah Turki menjadi Negara sekuler. Akan tetapi perjalanan estafeta khilafah dari Turki ke Indonesia terganjal oleh paradigma lama tentang khilafah.

Paradigma lama yang diyakini dan diperjuangkan kaum radikal. Paradigma selalu terkait dengan intepretasi. Paradigma bukan persoalan nash dan dalil melainkan permasalahan dalam memahami nash dan dalil. Interpretasi upaya ijtihadiyah sehingga muncul berbagai intepretasi yang secara objektif semuanya benar dan tetap memberi kesempatan subjektif untuk mengakui interpretasinya yang paling benar.

Paradigma lama tentang khilafah beserta konsep-konsep derivasinya semisal imamah, khalifah, imamul a’zham, bai’at, jama’ah, mati jahiliyah, dsb sudah tidak memadai untuk diadopsi, diterapkan dan diperjuangkan. Paradigma lama yang sebenarnya lahir dari bias kepentingan politik suatu kelompok. Intepretasi atas nash dan dalil yang disesuaikan dengan kepentingan politik kelompok.

Contohnya paradigma HTI, ISIS, Al-Qaeda dan Ikhwanul Muslimin. Keempat gerakan transnasional ini membayangkan khilafah adalah kepemimpinan tunggal umat Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang khalifah. Slogan “satu umat satu negara.” HTI dan ISIS berpendapat bentuk negara khilafah adalah kesatuan (integrasi), adapun Al-Qaeda dan Ikhwanul Muslimin berpendapat bentuk negera boleh federasi. Tapi mereka semua sepakat puncak pimpinan harus dipegang oleh satu orang berdasarkan hadits “jika dibai’at dua orang khalifah, bunuh yang terakhir.”

Kesalahan paradigma lama tentang satu orang khalifah adalah mereka memahami satu orang khalifah untuk semua umat Islam tanpa memperhatikan batas negara. Khalifah universal. Mereka membayangkan khalifah itu seperti Nabi Muhammad saw yang diturunkan kaffatan linnaas dan rahmatan lil ‘alamin. Imajinasi satu khalifah yang demikian yang

Komentar