Oleh: Abdul Ghopur
Indonesia dalam pengembaraan pikiran dan batin (great vision) yang mendalam dan jauh ke depan (visioner) para pendirinya adalah sebuah negara-bangsa (nation state) yang adil, makmur, sejahtera sekaligus berdaulat. Untuk meraih kedaulatan itu, sudah barang pasti, pemerintah dan rakyat harus bahu-membahu bekerja dan berjuang bersama-sama dengan segenap jiwa dan raga tanpa pamrih. Di sisi lain, visi besar para pendiri republik ini adalah menciptakan tatanan dunia baru yang damai, adil dan sederajat. Visi besar ini sudah terpatri secara nyata di dalam konstitusi negara (Pembukaan UUD 1945) dan Pancasila sebagai ideologi, pandangan hidup, nafas sekaligus cita-cita bangsa guna terwujudnya rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera (Masyarakat Pancasila–Sosialisme ala Indonesia). Visi inilah yang menjadi pedoman, pengikat (kalimatun sawa) dan pandangan kenegaraan bagi negara dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional pada ranah aktualisasi kemerdekaan sejati. Inilah yang disebut sebagai Gerakan Kebangkitan Nasional.
Seratus tujuh belas (117) tahun sudah peristiwa sejarah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia yang dimulai pada awal abad ke-20 berlalu. Berangkat dari gerakan memperjuangkan pembebasan dari ketertindasan-kolonialisme-imperialisme, berlanjut pada era gerakan kemerdekaan yang revolusioner, dan selanjutnya gerakan membangun landasan bangsa dan negara yang baru merdeka secara politik simbolis yakni nasional demokratik. Inilah geliat pergerakan dan watak perjuangan rakyat Indonesia yang revolusioner, yaitu sebuah revolusi nasional. Bung Karno menyatakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang berangkat dari tuntutan budi nurani manusia (social conscience of man).
Namun, dalam retas perjalanan republik ini, cita-cita besar ini seringkali diselewengkan oleh pengejaran tujuan pragmatis-jangka pendek (pragmatisme-transaksional), kepentingan mempertahankan kekuasaan, budaya feodal-patron client dan diperparah oleh hegemoni ideologi neo kapitalisme-neo imperialisme global yakni neoliberalisme dengan segala watak, agenda dan kepentingannya untuk mempertahankan cengkeraman kuku jajahannya yang masih terus berlangsung. Akibatnya adalah kedaulatan negara dan bangsa terus terampas-terperkosa. Kapasitas dan kredibilitas negara untuk mengurus kesejahteraan rakyat tergerus. Posisi Indonesia di mata dunia terpinggirkan dan yang lebih parah rakyat teralienasi, termarjinalkan dalam proses pembangunan dan terjebak dalam bayang-bayang negara gagal (failuer state).
Ironisnya, Indonesia yang dulu pernah menyandang gelar Macan Asia atau Macannya Asia dengan segala kehebatannya diantara negara-negara Asia, kini hanya menjadi Macan ompong pesakitan yang cuma bisa omon-omon! Bahkan untuk membalas hinaan negera-negara tetangga kita yang dulu pernah belajar kepada bangsa kita, bangsa ini dan para pemimpin di republik ini tidak mampu berbuat apa-apa! Bangsa Indonesia yang dulu dikenal sebagai Macan Asia dengan swasembada pangannya (pengekspor beras terbesar), swasembada minyaknya (oil booming), kekuatan pertahanan-ketahanannya (TNI/tentara terkuat ke-3 di dunia), kehebatan kedirgantaraannya, kelautannya dan lain sebagainya termasuk anugerah Sumber Daya Alam terlengkap di dunia dan kebudayaannya yang adiluhung serta kebesaran sejarah bangsanya. Atas segala kelebihannya, Indonesia sesungguhnya dapat menjadi mercusuarnya dunia di masa depan. Kepercayaan diri ini sungguhlah tidak hadir begitu saja tanpa sabab-musabab. Kepercayaan ini dapat dibuktikan dengan melacak jejak sejarah bangsa Indonesia sebagaimana yang telah dilakukan oleh banyak peneliti sejarah baik dalam dan luar negeri. Pun, dapat dibuktikan dengan menggali mitos-mitos sejarah kebesaran bangsa Indonesia (Nusantara).
Lantas pertanyaannya, apa sesungguhnya yang menjadi problem mendasar negara bangsa paska kolonial dewasa ini seperti Indonesia? Setelah gegar reformasi Mei 1998, kita memang kehadiran drama realis politikus bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan; kalah mengenaskan. Dari rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama kebangkitan kebudayaan dan moral bersih berputar tanpa skenario baru, sehingga tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram, menguasai banyak medan pertempuran, tapi kalah telak di akhir perang; banyak di mana-mana, tetapi selalu tak mendapat apa-apa. Dari waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih kalah oleh lupa karena miskin kader dan agenda (strategi kebudayaan). Meninggalkan ingatan untuk menjejer luka-luka baru yang luka lamanya tak tersembuhkan.
Dus, derasnya arus 4 (empat) neo jahat, (neokolonialisme, neoimperialisme, neokapitalisme dan neoliberalisme) telah merasuk ke seluruh dimensi dan lini kehidupan kebangsaan kita. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tata dunia baru, Indonesia pun turut digerus gelombang besar globalisasi. Empat neo jahat inilah yang menjadi ancaman serius terhadap sistem ekonomi, sosial, politik, tata-kelola energi nasional bahkan juga kebudayaan nasional kita. Dengan begitu, sirnalah Trisakti Kemerdekaan bangsa; berdaulat dalam politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian nasional.
Padahal, di saat bersamaan, kegalauan (limbo) tata ekonomi global tengah membayangi negara-negara imperialis ekonomi-politik. Sejatinya muncul dan berkembang sebuah ide besar, inisiatif dan kebijakan-kebijakan progresif, revolusioner dan visioner dari negara-negara bangsa paska kolonial termasuk Indonesia, yang terkesan “tinduk-diam dan terjajah” di hadapan hegemoni negara-negara imperialis Barat dan negara maju (emerging force) lainnya. Harus diakui, terlalu lama negara-negara bangsa paska kolonial khususnya Indonesia, dieksploitasi oleh kekuatan asing yang berwatak 4 neo jahat. Indonesia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dengan kebesaran penduduk, adat-istiadat, kebudayaan, keragaman bahasa, etnis, suku, ras dan kekuatan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, semestinya mampu menaikkan nilai maupun posisi tawarnya di tengah krisis global dan di hadapan negara-negara kapitalis Barat dan Timur (Tengah).
Sebaliknya, para pemimpin di negeri ini terlalu takut untuk bertindak secara revolusioner demi penyelamatan bangsa dan rakyatnya. Indonesia, bukannya membentuk kekuatan blok ekonomi-politiknya dengan semisal memperkuat ASEAN dan jika dimungkinkan kembali membentuk blok ASIA-AFRIKA seperti yang pernah digagas oleh Bung Karno beberapa dekade silam. Alih-alih, membangun pertumbuhan ekonomi, para pemimpin negeri ini malah ‘tunduk dan menghambakan’ dirinya pada Amerika dan sekutu-sekutunya serta negara maju (emerging force) yang lain! Di saat para pemimpin Eropa dan Asia lainnya masing-masing bersatu, para pemimpin kita malah terseret atau menyeretkan dirinya tenggelam-dalam, berlomba meminta dan menerima bantuan dari Barat (Amerika) ataupun Cina misalnya, aneh kan? Membagongkan!
Padahal, meminta bantuan luar negeri, bagaimanapun bentuk dan rupanya adalah sama dengan menjerumuskan kedaulatan bangsa ini ke jurang kematian nasionalisme bangsa! Sebab apapun alasannya, bantuan atau utang luar negeri sama saja mejerat leher bangsa ini di tiang gantungan kematian kedaulatan bangsa. Bergantung pada Barat, Asing dan Aseng sama saja membiarkan bangsa ini mati perlahan-lahan sampai habis tergadai semua kedaulatan bangsa di segenap denyut nadi kehidupan bangsa dan negeri ini kepada bangsa asing. Inilah yang selalu diwanti-wanti serta ditolak keras oleh para pendiri bangsa ini, terutama Bung Karno, dalam slogannya yang terkenal: “Go To Hell With Your Aid!” Pertanyaannya, mau dibawa (quo vadis) kemana arah dari momentum 117 tahun gerakan kebangkitan nasional dan bangsa ini? Jangan cuma omon-omon, Meoong…!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda).
Komentar