Ketua DMI Kota Tangerang : Masjid Tempat Ibadah, Bukan Tempat untuk Kampanye

oleh
oleh

Jakarta – Adanya fenomena politik identitas dengan populisme agama akan menjadi ranjau bagi demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak cakap.

Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Tangerang Nanang Qosim mengatakan politik identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin.

“Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah pemilu maupun pemilihan. Serta dikhawatirkan secara lambat laun akan mencederai demokrasi,” tegas Nanang, hari ini.

Menurut dia, politik identitas juga berpotensi menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Perlu diketahui bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut Indonesia mengingat pluralisme masyarakatnya. Apabila populisme dalam politik identitas semakin menguat, tidak akan ada lagi keadilan sosial, persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan kebebasan untuk orang lain maupun diri sendiri.

“Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga akan menciptakan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia,” sebutnya.

Dikatakannya, kuatnya tekanan dari kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung akan memberikan dampak buruk bagi pemeluk agama yang lain. Pemeluk agama minoritas akan merasa didiskriminasi, sehingga akan memunculkan perpecahan antar umat beragama.

Belajar dari pengalaman pemilu serentak 2019, tidak menutup kemungkinan bahwa isu-isu itu akan kembali muncul dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Peristiwa yang lalu memiliki kesempatan besar untuk terus digaungkan oleh kelompok radikal demi keuntungan pribadi.

“Begitu pula oleh golongan-golongan yang memang pada dasarnya menginginkan perpecahan antara kaum mayoritas dan kaum minoritas di Indonesia,” katanya.

Masih kata dia, menghilangkan praktek politik identitas akan menjadi salah satu PR penting bagi Indonesia menjelang pemilu 2024 mendatang. Hal ini menjadi penting, terlebih karena berhubungan erat dengan kesetaraan hak, persatuan dan kesatuan masyarakat, serta prinsip-prinsip demokrasi. Apalagi, masalah SARA merupakan hal yang lumayan sensitif untuk dijadikan alat kampanye.

“Sebagai negara yang multikultural serta demokratis, sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar Jawa juga bisa. Tidak hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-islam juga bisa,” bebernya.

Dikatakannya, dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnik semata, tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat.

“Masjid harus menjadi tempat ibadah dan tidak digunakan untuk kepentingan politik. Saya meminta agar masyarakat menghormati masjid dan tidak ada masjid yang untuk partai politik tertentu. Menurutnya masjid diperuntukkan untuk semua umat muslim. Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memberikan sanksi tegas kepada partai politik yang menjadikan masjid sebagai tempat kampanye,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.