Farhat Abbas: Gerakan 2019 Ganti Presiden Penghinaan Demokrasi

oleh
oleh

JAKARTA – Salah satu Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Farhat Abbas menilai bahwa gerakan tagar 2019 ganti presiden yang digelorakan oleh Neno Warisman dan Mardani Ali Sera selama ini merupakan bentuk dari penghinaan terhadap proses demokrasi di Indonesia. Hal ini lantaran gerakan tersebut sudah tidak relevan dengan situasi saat ini dimana sudah ada dua nama pasangan Capres-Cawapres yang muncul meskipun masih dalam tahap proses verifikasi data pendaftar.

“2019 ganti presiden adalah penghinaan. Tahapan pemilu pilpres sudah ada. Pilih pak jokowi atau pilih pak Prabowo itu wajar, tapi kalau ganti presiden itu menghina,” kata Farhat Abbas dalam sebuah diskusi publik bertemakan “Makin Dilarang, Makin Nantang. #2019GantiPresiden Menggila Hingga Tanah Suci: Untung atau Buntung” yang digelar oleh Barisan Insan Muda (BIMA) di UP2YU Resto & Cafe, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (31/8/2018).

Apalagi dalam setiap gerakan mereka, narasi negatif pun selalu dimunculkan dan berpotensi merusak tatanan sosial. Dan kata-kata merendahkan, menghina pihak lain dengan mengatasnamakan agama demi memuaskan kepentingan politik mereka, mantan caleg Partai Demokrat ini pun menilai itu adalah penghinaan terhadap demokrasi.

“Teriak Presiden gila itu yang teriak adalah gila. Akan ada ancaman dari Allah sesuai ayatnya, itu seperti perang Islam dan kristen dan sebagainya, maka jelas ini penghinaan (Demokrasi),” tegasnya.

Terkait dengan melanggar hukum atau tidaknya gerakan tagar 2019 Ganti Presiden itu, Farhat enggan memberikan penilaian terlalu jauh. Ia hanya mengatakan bahwa gerakan apapun tetap memiliki kebebasan yang diatur oleh Undang-undang. Hanya saja yang perlu diperhatikan menurut Farhat adalah konten atau isi yang dibangun dari gerakan tersebut.

“Bahasa ganti presiden itu kan biasa ya, tapi niat gerakannya itu yang perlu diperhatikan. Kalau hanya ganti sosok presiden tentu harus melalui tahapan-tahapan KPU, tapi lakukan dengan semi anarkis dan kalau dibiarkan, tentu akan bentrok,” tuturnya.

Terakhir, Farhat pun menilai bahwa gerakan ini sangat licin dan cukup sulit untuk dijerat melalui pasal di UU Pemilu apalagi selalu ada upaya “ngeles” dari para deklarator jika gerakan tersebut tidak menyebutkan nama paslon yang diusung. Hanya saja karena bisa berefek pada rusaknya kohesi sosial, maka aparat bisa menggunakan UU KUHP saja.

“Gerakan itu bukan pelanggaran kampanye, tapi pelanggaran keamanan dan ketertiban masyarakat. Jadi mereka walau tidak dikenakan UU Pemilu tapi bisa digunakan UU KUHP biasa,” terang Farhat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.