Jakarta – Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat, Tarman Azzam menilai, keberadaan media alternatif di Indonesia sangat perlu dan strategis. Namun dia mengingatkan, harus orang jujur yang menjadi pimpinan di media alternatif.
“Dengan kondisi seperti sekarang ini, media alternatif sangat perlu dan strategis. Saat ini, publik lebih percaya pada media dibandingkan pada keterangan yang diberikan pemerintahnya,” ujar Tarman saat Dialog Publik bertema ‘Peran Media Alternatif Dalam Membangun Opini Masyarakat Mensukseskan Kepentingan Nasional’ yang diinisiasi Kaukus Muda Indonesia (KMI), Kamis, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (30/7/2015).
Namun, lanjutnya, yang paling penting adalah, media alternatif dan sejenisnya harus dipimpin oleh orang yang jujur. Sehingga informasi yang disampaikan tak menyesatkan.
“Mengapa saya mengatakan media alternatif sangat penting di jaman ini? Ada dua kasus yang membuktikan media alternatif itu sangat penting. Pertama saat terjadi penggulingan Presiden Filipina, Marcos oleh pendukung Aquino melalui media alternatif,” ujarnya.
“Serta kemenangan Barrack Obama sebagai Presiden Amerika. Bayangkan, dengan agama yang kacau-balau, Obama Kristen, orang tuanya Islam, serta latar belakangnya yang pernah sekolah di Menteng, taraweh, dll, dia bisa menang dengan mengandalkan media main stream dan media alternatif,” tukasnya.
Agar media alternatif tak salah jalan, sehingga akhirnya berurusan dengan hukum, mantan Pemred Harian Terbit ini menyarankan agar media alternatif harus berpatokan pada UU Pers yang berlaku di Indonesia.
Ditempat yang sama, Ketua KMI, Edi Humaidi melihat, perkembangan media alternatif luar biasa dahsyatnya di Indonesia.
“Saya melihat, media alternatif di Tanah Air lebih banyak manfaatnnya dibandingkan mudaratnya. Mudah-mudahan ke depan, media alternatif bisa lebih berfungsi untuk membangun bangsa,” katanya.
Sementara itu anggota Dewan Pers, Ridho Easy menyatakan, kalau media sosial ingin dijadikan sebagai media alternatif, maka yang harus dibuktikan adalah kredibilitas dari media bersangkutan.
“Kalau media alternatif yang dimaksud ternyata hanya menipu karena isinya sampah, maka media tersebut tak lagi dipercaya publik,” tegasnya.
Sedangkan pengamat media, Agus Sudibjo dari Kapradi menyayangkan sikap publik yang menjadikan sosial media (sosmed) sebagai alat untuk menyerang.
“Pak Dahlan Iskan bahkan mengaku tak berani membaca sosmed, karena dirinya diserang habis-habisan melalui sosmed,” ujar Agus.
Dia memprediksikan pro kontra melalui sosmed akan semakin sering terjadi.
“Contohnya untuk kasus Budi Waseso (Buwas). Ada sosmed yang meminta Buwas lengser dari posisinya sebagai kabareskrim. Tapi ada juga sosmed yang meminta Buwas diberi kesempatan untuk menjalankan tugasnya,” imbuhnya.